Rabu, 23 Mei 2012

Kebudayaan Madiun

Sastra dalam Budaya yang Bertopeng
Oleh: Rizal Ariffin

Hidup tanpa cinta, bagaikan taman tidak berbunga dan hidup tanpa ekspresi rasanya hidup ini kurang berwarna. Ekspresi adalah suatu ungkapan atau menyatakan maksud, gagasan, perasaan, dan sebagainya. Setiap manusia pasti dan tidak dapat dipungkiri lagi memiliki sebuah ekspresi yang antarindividu berbeda. Ekspresi dapat dikatakan sesuatu yang abstrak dan dimiliki oleh setiap manusia yang menjadikannya berbeda satu sama lain. Inilah yang menjadikan manusia memiliki sifat dan karakter yang berbeda. Salah apabila seseorang menyalahkan orang lain karena orang lain mempunyai style sendiri dan diri sendiri mempunyai style sendiri tidak dapat disamakan dan dibandingkan.
            Begitu juga dengan yang namanya “Sastra”. Bagi saya sastra itu luas, tidak bisa dijabarkan dengan kata-kata, dan abstrak. Sastra adalah ekspresi, keinginan untuk bertindak, dan  menghargai perbedaan. Sastra adalah ekspresi jiwa seseorang yang sedang ingin mencurahkan, mengungkapkan, mengeluarkan, dan menyelesaikan semua masalah yang dihadapi. Sastra adalah teman dan sahabat yang baik. Di mana seseorang membutuhkan, sastra akan selalu ada karena sastra bersifat abstrak. Sastra tidak bisa untuk disalahkan dan dihakimi, karena ekspresi adalah imajinasi dan ungkapan hati seseorang, dan sudah dikatakan setiap orang memiliki ciri khasnya masing-masing yang bertindak sebagai pembeda antara satu dengan yang lainnya. Itulah menariknya sastra di mata saya, ia mampu berada di mana saja, pada suasana apa saja, dan pada siapa saja tanpa ada yang menyalahkan dan mendoktrin satu sama lain. Sastra juga sebuah keinginan untuk bertindak, mengapa demikian? Karena sastra adalah suatu aksi, tindakan, dan perbuatan. Tidak semua tindakan bisa dikatakan sebagai sastra. Tindakan yang bisa dikatakan sastra adalah, tindakan oleh manusia yang memiliki akal untuk berpikir melakukan pekerjaan yang menghasilkan sebuah karya dan seni serta memiliki unsur keindahan dan kejujuran. Sastra adalah alat untuk menghargai sebuah perbedaan. Mengapa demikian? Pertanyaan yang sebenarnya mudah untuk dijawab, tetapi sulit diutarakan. Sastra yang merupakan suatu ciri khas dari seseorang yang memiliki jiwa seni atau curahan hati ini adalah salah satu bentuk atau apresiasi sastra untuk mempersatukan perbedaan dan mengajari semua orang akan pentingnya saling mengerti dan memahami satu sama lain. Bagi sebagian orang memang hal ini sulit dipahami, tetapi inilah sastra menurut saya yang abstrak dan tidak dapat disalahkan. Setiap suku, masyarakat, komunitas, kelompok, dan individu yang berbeda memiliki arti dan karya dalam sastra sendiri, tetapi mereka semua satu dalam sastra yang kaya akan syarat makna dan estetika.
            Sastra tersebut banyak sekali dan sangat mudah dijumpai karena keberadaannya membuat hati tenang dan damai. Sastra itu sendiri sebenarnya dalam dunia pendidikan dibagi menjadi dua antara lain: prosa dan puisi. Prosa adalah karya sastra yang tidak terikat sedangkan puisi adalah karya sastra yang terikat dengan kaidah dan aturan tertentu. Contoh karya sastra puisi yaitu puisi itu sendiri, pantun,  dan syair, sedangkan contoh karya sastra prosa yaitu novel, cerita/ cerpen, rama, dan teater, drama serta budaya tradisional itu sendiri yang erat kaitannya dengan unsur estetik, religius, serta kesakralan yang tinggi. Dalam arti yang pernah saya pelajari demikian, tetapi sastra itu luas dan jika di atas saya mengatakan sastra itu adalah ungkapan dan pemikiran seseorang yang menjadikannya ciri khas atau cerminan dari apa yang sedang ia alami itulah sastra. Walaupun sastra dibagi menjadi sastra tertulis atau sastra lisan, tetapi sastra tidak banyak berhubungan dengan tulisan, tetapi dengan bahasa yang dijadikan wahana untuk mengekspresikan pengalaman atau pemikiran tertentu.
Oleh karena itulah, sastra mampu masuk ke dalam setiap kehidupan dalam hidup bermasyarakat dan kehidupan masing-masing orang bahkan semua orang yang memiliki perasaan pasti memiliki jiwa-jiwa sastra. Semuanya memang membutuhkan sebuah proses yang tidak sebentar, harus adanya pembimbing agar masyarakat mengetahui sastra itu sendiri dan mengembangkan sastra dalam diri sendiri. Hal itu disebabkan karena sastra adalah cerminan diri pridadi atau diri sendiri yang apabila tidak terkontrol, maka akan rusak dan sedikit demi sedikit akan hilang. Dapat dikatakan bahwa sebenarnya sastra yang berkembang dalam masyarakat adalah budaya itu sendiri. Tetapi, keberadaannya sangat kecil untuk dijumpai.
Budaya juga seperti itu, budaya merupakan bagian dari karya sastra. Ada yang tergolong ke dalam karya sastra lisan dan tulis. Tetapi, kebanyakan kebudayaan di seluruh daerah Indonesia bahkan dunia, masuk ke dalam karya sastra lisan atau karya sastra oral. Jelas tidak efektif bahwa kebudayaan suatu daerah berupa karya sastra tulis. Di samping tidak menarik dan sedikit peminatnya, banyak karya sastra tulis peninggalan zaman prasejarah yang menggunakan bahasa-bahasa kuno dan sangat jarang sekali orang yang tahu maksud dan arti dalam karya sastra tulis atau peninggalan tulis tersebut. Inilah satu kelemahan karya sastra tulis, ketika dihadapkan pada satu benda yang merupakan contoh jenis karya sastra tulis maka persoalan yang pertama kali muncul adalah, “bagaimana cara membacanya dan bagaimana cara mengartikannya?” Sangat sulit ketika seseorang tidak bersama orang yang handal dalam menterjemahkan tulisan-tulisan tersebut. Walaupun karya sastra tulis ini memiliki kelebihan yang mungkin merupakan suatu proses berpikir untuk para penikmat sastra tulis adalah imajinasinya. Imajinasi sangat diperlukan untuk seseorang ketika membaca karya sastra berwujud tulisan ini. Hasil yang didapatkan pun kurang lebih memiliki perbedaan inti dan maksud dari tulisan tersebut. Berbeda apabila dengan karya sastra lisan atau karya sastra oral. Kebudayaan akan lebih terlihat berseni dan memiliki nilai persuasif atau mempengaruhi yang tinggi. Sebagai penikmat dan nantinya sebagai penerus para pendahulu yang menjadikan kebudayaan tersebut ada untuk tetap melestarikannya ini, seseorang akan dipandu untuk memahami secara langsung. Apa yang didengar, apa yang dilihat, dan apa yang dibaca semuanya menjadi sangat mudah untuk dipahami. Tanpa disadari bahasa adalah alat pemersatu, itulah salah satu fungsi bahasa. Karya sastra lisan ini pasti menggunakan media bahasa untuk menjadikannya mudah untu dipahami dan dimengerti serta dipelajari untuk tetap dilestarikan dari generasi ke generasi.
Karena saya ini orang asli Kabupaten Madiun, maka saya akan memberikan ulasan singkat mengenai budaya yang ada di Kabupaten saya. Sangat menarik apabila kita membahas mengenai budaya dan kesenian. Budaya dan kesenian dua hal yang berbeda tetapi sama, berbeda dalam unsur kepercayaan untuk mengikuti suatu budaya yang memiliki satu arah yang sama sebagai sebuah keseniaan daerah. Banyak sekali kebudayaan yang disalahgunakan dan berakibat buruk bagi kebudayaan tersebut. Pada sebagian daerah, kebudayaan biasanya digunakan sebagai maskot atau daya tarik tersendiri, tidak jarang juga sebagian kebudayaan digunakan sebagai ritual khusus keagamaan atau dalam hari-hari besar dan hari-hari penting yang diwajibkan warga masyarakatnya melakukan ritual tersebut. Budaya dari Kabupaten Madiun yang sangat riskan adalah upacara bersih desa, yang saat ini digunakan sebagai ritual daerah yang mungkin beberapa daerah lain di Jawa Timur juga menggunakan budaya ini. Berbeda dengan daerah lain dan mungkin ini adalah sebuah gejala kerusakan budaya tradisional atau turun temurun yang diakibatkan oleh adanya salah pengertian antara perangkat desa yang lama dengan yang baru, atau para sesepuh desa yang memimpin jalannya upacara ini. Di Kabupaten Madiun, upacara bersih desa ini diadakan dengan cara salamatan di punden (tempat keramat) atau di bawah pohon bringin besar di desa saya. Tidak berhenti sampai di situ, setelahnya biasanya panitia upacara bersih desa ini memberikan hiburan gratis berupa Wayang Kulit, Reog, dan Gambyongan yang di situ pasti banyak bapak-bapak dan para pemuda desa yang minum-minuman hingga mabuk dan tidak jarang sampai terjadi baku hantam dengan sesama warga. Hal inilah yang mencoreng citra budaya bersih desa ini, seharusnya budaya bersih desa ini bertujuan untuk mengucapkan rasa syukur masyarakat kepada Allah Swt yang memberikan banyak rejeki, keselamatan, dan ketentraman desa.
Budaya yang sedikit demi sedikit kembali ditinggalkan adalah Karawitan dan Dongkrek. Dua keseniaan dan budaya tradisional Madiun yang sedikit demi sedikit terlupakan dan hilang dari permukaan. Budaya atau kesenian Karawitan ialah seni gamelan dan seni suara yang bertangga nada slendro dan pelog, dengan pengiring musik berupa seperangkat alat musik yang bernama Gamelan. Gamelan Jawa adalah ensembel musik yang biasanya menonjolkan metalofon, gambang, gendang, dan gong. Musik yang tercipta pada Gamelan Jawa berasal dari paduan bunyi gong, kenong dan alat musik Jawa lainnya. Irama musik umumnya lembut dan mencerminkan keselarasan hidup, sebagaimana prinsip hidup yang dianut pada umumnya oleh masyarakat Jawa. Gamelan Jawa terdiri atas instrumen Kendang, Bonang, Bonang Penerus, Demon, Saron, Peking (Gamelan), Kenong dan Kethuk, Slenthem, Gender, Gong, Gambang, Rebab, Siter, Suling, dan Kempul
Sementara itu tari Dongkrek merupakan salah satu kesenian tradisional yang ada di Kabupaten Madiun. Tari Dongkrek telah menjadi simbol bagi masyarakat Desa Mejayan, terutama sebagai desa lahirnya kesenian dan budaya Kabupaten Madiun dan Kota Madiun ini akan makna yang terkandung di dalamnya yaitu sebagai media untuk mengusir pageblug atau wabah penyakit serta media tolak bala dan sampai saat ini masih dipercaya akan kekuatannya. Tari Dongkrek mengandung banyak makna religius dan mistik yang terdapat dibalik simbol-simbol yang digunakan dalam kesenian tari Dongkrek. Dalam kesenian tari Dongkrek, terdapat pesan-pesan yang disampaikan melalui simbol-simbol. Dilihat dari topengnya ada tiga macam, antara lain topeng orang tua, topeng perempuan, dan topeng raksasa. Ketiga topeng tersebut memiliki simbol yang menggambarkan tentang kehidupan pada masa itu. Dilihat dari alat musiknya ada tujuh simbol alat musik yang digunakan saat pertunjukkan arak-arakan, antara lain bedug, korek, kentongan, kenong, kendang, gong beri dan gong pamungkas. Dilihat dari pakaiannya ada tiga macam, antara lain pakaian orang tua, pakaian perempuan, dan pakaian raksasa yang ketiganya merupakaan sebagai simbol pelengkap dari kesenian tari Dongkrek. Dilihat dari makna religiusnya, tari Dongkrek tidak pernah lepas dari unsur mistik dan unsur gaib karena tari Dongkrek berkaitan erat dengan kepercayaan animisme (kepercayaan kepada roh yang mendiami semua benda bisa pohon, batu, sungai, gunung, dan sebagainya) dan dinamisme (kepercayaan bahwa segala sesuatu mempunyai tenaga atau kekuatan yang dapat mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan usaha manusia dalam mempertahankan hidup). Tari Dongkrek sebagai suatu karya seni memang perlu dikomunikasikan kepada masyarakat agar masyarakat tahu apa yang ada di balik kesenian Tari Dongkrek. Tari dongkrek saat ini sudah sedikit ditinggalkan dan sangat jarang ditemukan orang-orang yang melestarikannya, akibat yang sangat fatal adalah hilangnya atau musnahnya tarian ini dari daerah Madiun sebagai ciri khas Kota/Kabupaten Madiun ini. Para pemuda atau siswa di sekolah-sekolah banyak yang tidak mengenal adanya kebudayaan tradisional ini. Sekolah-sekolah kurang adanya kepedulian mengenai seni budaya tradisional, dan tergeser oleh teater modern dan lawak modern yang sering diajarkan di sekolah.
Budaya yang sekarang berkembang pesat adalah budaya-budaya Barat yang sudah tidak lagi memiliki unsur-unsur sastra yang tinggi. Mereka sedang mencoba untuk meracuni pikiran-pikiran para anak-anak, para pemuda, dan remaja yang seharusnya sebagai pelestari Budaya mereka. Sekali lagi budaya adalah jati diri sebuah daerah yang di dalamnya terdapat makhluk-makhluk sosial. Tetapi, fakta yang ada sekarang berlawanan, budaya-budaya yang berkembang saat ini menutup muka atau bertopeng dan memalingkan muka terhadap unsur-unsur sastra, sehingga menjadikan budaya tersebut kehilangan Jati dirinya.
Dua kebudayaan yang ada di Kota dan Kabupaten Madiun ini sangat beresiko akan kepunahan. Perlu adanya seseorang yang memulai untuk mengembalikan kembali kebudayaan Karawitan dan kesenian tari Dongkrek ini. Semuanya dapat berlangsung dan dikembangkan melalui media apa pun. Medianya itu bisa dari elektronik dan cetak. Media elektronik bisa melalui Televisi lokal Madiun dan Radio-radio yang ada di Madiun, dan media cetak dapat melalui koran-koran lokal dengan saya mengirim tulisan dalam rubrik Seni Budaya. Itulah salah satu cara global saya yang saya lakukan ke depannya, yang telah saya lakukan adalah saya pernah berpartisipasi dalam acara kesenian daerah.
Apa yang bisa saya lakukan pasti akan saya lakukan dan saya senang mengikuti kegiatan apa pun. Di SMA saya mengikuti ekstrakulikuler karawitan, saya di situ bertindak sebagai vokalis dalam perkumpulan seni tersebut. Dalam desa saya juga mengusahakan agar karawitan ini masih dilestarikan dan tidak terkalahkan dengan adanya musik-musik dangdut yang semakin merakyat ini. Dalam seni dongkrek saya memang belum menekuni, tetapi saya pada waktu SMP pernah ikut latihan sebentar dan waktu pentas saya tidak mengikuti karena saya menjadi juru bicara sekolah pada saat itu. Tetapi, saya sebagai seorang calon pendidik atau biasa dipanggil dengan seorang calon guru, sehingga saya berkesempatan dan berpeluang besar untuk ikut melestarikan budaya tari Dongkrek di Madiun, dengan sedikit memberi saran kepada sekolah-sekolah untuk mengadakan ekstrakulikuler tari Dongkrek ini. Itulah cita-cita saya untuk melestarikan seni dan budaya Jawa Timur tradisional.

Senin, 21 Mei 2012

Cerita dalam Hujan


Pemberian Hujan dari Tuhan
Oleh: Rizal Ariffin

                     “saat mentari ini terbenam di temani dengan kicauan burung-burung kematian...Di saat itulah angan dan asaku berhenti dalam sekejap...   Merenungi setiap kesalahan dalam hidupku di temani tangisan langit senja...”
Mentari boleh saja terbit dari ufuk timur bumi ini dan itu sama di belahan bumi yang lain. Mentari juga boleh terbenam dari ufuk barat itupun sama di belahan bumi yang lain. Semua berjalan dan berlari, muncul dan terbenam, bangkit dan tertidur, serta hidup dan mati sesuka hatinya tanpa manusia bisa mengatur. Akankah sama kehidupan manusia dengan mereka semua yang seenaknya itu? Tentu Tidak. Di atas langit masih ada langit, di atas bumi masih ada bumi, dan diatas yang baik masih ada yang terbaik, bahkan di atas siswa ada mahasiswa. Namun, Ialah yang disebut sebagai Tuhan Maha dari seluruh dzat yang ada baik di bumi dan di langit.
            “Hai Tuhan!” sapaan biasa tapi selalu saja tidak pernah terjawab.
            Burung-burung hitam muncul dari tempat peraduan. Satu persatu mereka mewarnai langit-langit merah senja yang sedikit demi sedikit mulai menghitam. Angin kencang berdebu datang tapi tidak menggoyahkan sekawanan burung yang terbang di langit kala itu. Pemandangan kala itu sungguh mengagumkan seakan-akan mereka bertambah senang dan mereka membuat lingkaran besar.
            “Cit...cit..cit..cit..cit...!!!” suara-suara aneh yang sangat mengerikan.
            Begitu banyak memecah keheningan dalam kesunyian waktu.  Selang beberapa menit dalam senja yang bising dengan nyanyian penuh makna terdengar suara keras seperti hendak menelan manusia. Diiringi dengan sambaran cahaya bak aliran listrik konslet di rumahku. Seolah-olah terusik dan merasa kurang senang akan kehadiran burung-burung hitam yang bernyanyi membuat gaduh. Lima menit sudah ia terus berteriak dan marah-marah namu tak kunjung usai dan berhenti.
            “Der...jeder...jeder...jeder...!!!” ia terus marah pada burung-burung itu.
            “Sudah hentikan... kalian semua diamlah...!!!” teriakku sambil menutup cendela kamar yang terbuka karena tiupan alam yang seakan-akan ikut marah.
            Tidak lama kemudian benar saja listrik di rumah padam bahkan tidak hanya di rumahku saja seluruh desa kala itu padam semua. Langit senja yang indah berubah menjadi langit gelap yang menakutkan. Semua seakan terjadi hanya karena gerombolan burung hitam yang berpesta dan menari-nari di atas langit yang indah itu. Inilah kemarahan alam yang sungguh menakjubkan. Namun, burung-burung itu masih tetap kukuh untuk tetap bernyanyi dan menari di atas awan gelap.
            “Sudah semua berhenti...!!!” sekali lagi teriakku dalam kamar yang sepi tanpa seorangpun dalam rumah.
            Sepenggal kata yang tidak menghentikan semua ini. Aku berlari keluar rumah, berlari, dan terus berlari untuk menghindari suara-suara ini. Namun, teriakanku tidak mampu menenangkan suara ricuh yang membuat hatiku menjadi semakin gundah. Aku berhenti dan menangis serta berteriak sekuat yang aku bisa di tengah ladang tandus nan sepi ini. Seperti mengiringi teriakanku angin berlari begitu cepat dan kencang seakan-akan membawa pesanku untuk langit.
            Aku mulai terlelah dan aku jatuh menopang pada batang besar pohon yang roboh. Meratapi semua yang terjadi dalam hidupku. Tanah kering kerontang yang seakan merintih kepanasan. Burung-burung yang menjerit meminta pohon untuk berteduh. Bahkan katak-katak yang bernyanyi seperti sedang mengadakan konser paduan suara ini juga menambah ricuh suasana kala itu. Semua seakan menginginkan dan mengharapkan belas kasihan dari Sang Maha Pencipta.
            Seketika itu aku pun menitihkan air mata, menerobos, dan menguak ingatan ku dalam memori otakku akan kisahku waktu dulu ketika kami masih bersama. Bersama dalam suka dan duka dalam kasih dan cinta. Satu keluarga utuh yang saling mengasihi dan melindungi. Selalu bersama dan berbagi tidak pernah membedakan. Semuanya telah hancur dengan seiringnya waktu yang yang penuh misteri.
            Hilang dalam angan yang selalu terpendam di hatiku terdalam. Tanpa bisa ku cari dan ku buka kembali. Hanya dapat ku kenang dan ku jadikan pelajaran dalam hidup. Bahwa kebahagian yang asesungguhnya adalah dimana kita mengetahui dan mampu mengalahkan kesusahan dalam hidup. Semuanya memang harus terjadi, berlangsung, dan harus di jalani. Tanpa itu semua hidup akan terasa sama saja tanpa ada perubahan dan pengertian yang bauk dan benar.
            “Tuhan kenapa kau tarik semua kebahagianku, kesenanganku, dan keceriaanku? Apakah Kau sudah tidak sayang lagi padaku? Kadang aku merasa kecil di mata orang lain, namun aku yakin mereka semua tidak ada apa-apanya dengan diri-Mu Ya Rabb...!” kataku sambil menitihkan air mata kembali.
            “Tuhan bolehkah aku bertemu dengan ibuku? Aku ingin berbagi kesedihan dalam keramaian yang begitu sunyi ini! Apakah di sana ibuku baik-baik saja?”
            “Tuhan andai ku dapat mengulang waktuku, bolehkah aku meminta dia kembali? Menemani hari-hariku agar tidak terasa begitu sepi?” kata-kata itu seperti kata-kata terakhir ku yang bisa aku ucapkan di tanah kering bebatuan yang disaksikan alam beserta isinya.
            Seakan alam mengerti keinginanku, mengerti perasaanku, mengerti keraguanku, mengerti kesedihanku, dan mengerti segala isi hatiku ia ikut menangis. Menjatuhkan air mata ke tanah kering yang menjadi basah oleh air mata langit. Kepada katak-katak yang memberikannya minum. Kepada burung-burung yang kelak akan mendapatkan tempat tinggal yang nyaman. Tangisan langit ini begitu membawa berkah dan syukur tersendiri bagi mereka yang benar-benar membutuhkan pemberian hujan ini.
            Tuhan memang adil, Engkau Maha adil dan Maha penyanyang. Setiap kali ada kesedihan, Engkau juga berikan tangisan bahagia dalam tetesan hujan. Namun, tidak bagiku! Aku merasa sama, aku merasa sedih, dan aku merasa sendiri. Apakah Tuhan tidak adil kepadaku? Atau apakah memang karena aku sudah sangat begitu kejam kepada mereka yang menyanyangi ku? Seketika itu caha putih seakan mendekat padaku.
            Cahaya putih yang begitu cepat datang padaku tanpa permisi. Begitu sakit ku rasa. Panas, sesak, dan aku merasa sakit luar biasa. Badanku bagaikan disayat-sayat. Kulitku terasa terangkat dan mengelupas. Mataku terpejam tidak mampu melihat apapun. Badanku pun kaku menggelincang bagaikan cacing kepanasan. Sudah pasrah akan apa yang terjadi dalam hidupku.dalam doa ku sebut nama ibuku.
            “Anakku!, kemarilah sayang ikutlah engkau dengan ibumu.”
            “Kau siapa? Ibuku sedang tidur dalam dekapan Sang Illahi!”
            “Aku ibumu nak, tidakkah kau merindukanku? Mengapa kini kau melupakanku? Mengapa kau tidak mendoakanku dalam malam mu? Kemana jiwamu yang dulu nak?”
            “Aku selalu menjadi aku yang dulu, ku pikir ibu ku sudah tenang di sana!”
            “baiklah kalau kau tetap begitu jangan lagi kau memanggilku dengan sebutan ibu!”
            “Kau ini siapa memangnya?”
            “Selamat tinggal, berubahlah kau agar kau mengetahui siapa aku nak?”
            “Hai... tunggu siapa kamu?” seakan berlari mengejar wanita dengan gaun putih bersinar dengan tergopoh-gopoh namun wanita itu tidak terkejar lagi.
            Begitu aku terbangun dari mimpi ku yang terasa singkat badan ku seakan tidak bisa di gerakkan. Semua terasa gelap tidak bercahaya. “Apakah kini aku berada dalam neraka?” dalam hati aku bertanya demikian.
“Tidak...!!!” jawab seseorang yang tidak terlihat. “Kau kini berada di rumah sakit, saat hujan turun kau tersambar petir dan kau sudah koma selama tiga bulan!”
“Apa... Ibuuu!!!” teriakku dengan kencang.
Apakah ini jawaban dari Tuhan atas segala doa ku yang dikirimkan lewat hujan kala itu?
dan mungkinkah ini adalah salah satu pemberian Tuhan pada ku akan kesempatan untuk bertaubat?****




SEKIAN