Minggu, 06 April 2014

Nasihat Ibu yang Tak Terlupakan

Hari semakin larut. Tapi malam ini saya tak bisa tidur. Saya pandangi foto almarhumah ibu. Sedih rasanya ditinggalkan olehnya. Tahun 1998, ibu dipanggil Allah. Sedih rasanya hati ini. Penyakit hipertensi telah merenggut nyawanya.
Ditinggal ibu untuk selama-lamanya membuat saya menangis di malam sunyi. Di depan orang-orang saya terlihat tegar. Padahal sebenarnya saya rapuh. Sebab saya tak siap kehilangan ibu. Saya belum berbakti penuh kepadanya. Saya belum sempat membalas semua jasa kebaikannya.
Saya masih ingat ketika saya mau ujian skripsi. Ibu berpuasa untuk saya. Hari itu bertepatan dengan hari ibu, 22 Desember 1994. Ibulah yang banyak mendorong saya sehingga lulus sarjana tepat waktu. Ibu pulalah yang memberi inspirasi saya untuk menjadi manusia yang bermanfaat untuk orang banyak.
“Hidupmu harus memberi manfaat untuk orang lain”, begitulah nasehat ibu yang masih selalu saya ingat sampai saat ini.
Saya masih ingat pula ketika ibu menemani saya belajar. Ibu selalu memberi saya nasehat agar belajar dengan tekun. Sebab orang yang tekun pastilah akan berhasil mencapai cita-citanya. Ibu pulalah yang selalu menyiapkan kopi atau teh manis hangat bila saya terkantuk-kantuk dalam belajar saya.
Bila saya ujian, pastilah ibu berpuasa untuk saya, dan karena itulah saya selalu memiliki kekuatan penuh  di saat ujian. Ibu seperti peri bidadari yang selalu membantu mewujudkan semua impian saya.
Termasuk ujian skripsi kala itu. Saya meminta dosen untuk menguji saya melalui ujian terbuka. Dengan demikian akan banyak teman-teman saya melihat bagaimana ujian skripsi itu. Kebetulan saya lulus paling dulu dari teman-teman satu angkatan. Itu semua berkat jasa ibu. Ibulah yang selalu memberikan saya semangat untuk maju. Ibu pulalah yang selalu memberi saya kekuatan ketika lemah dalam menggapai cita. Ibu pulalah yang memberi saya semangat untuk mendapatkan bea siswa. Saya bisa kuliah nyaris tanpa biaya, dan semua itu berkat motivasi dari ibu yang terus menerus.
Kini ibu telah tiada. Tadi siang saya kunjungi makam ibu, dan juga ayah. Ibu dan ayah dimakamkan dalam satu lubang yang sama. Saya doakan mereka di pekuburan pondok kelapa malaka, Jakarta Timur. Semoga mereka berada dalam surga. Semoga mereka mendapat berkah di alam sana.
Ingin rasanya saya memeluk ibu di hari ibu ini. Ingin rasanya saya menangis sekeras-kerasnya sambil memeluk beliau. Bercerita tentang keganasan kehidupan kota saat ini. Bercerita tentang tidak mudahnya menjadi orang jujur. Bercerita tentang dahsyatnya sabar dalam kehidupan. Bercerita tentang pentingnya sholat bagi mereka yang mengaku beriman kepada Allah dan hari akhir. Bercerita tentang semakin punahnya orang jujur di negeri ini.
Selamat hari ibu. Jasamu tiada tara.
Saya putar lagu lawas Uci Bing Slamet (untuk mama), dan terdengarlah bait demi bait di bawah ini:
Redup sinar matamu yang hampir padam. Karena petaka yang begitu kejam telah merenggut bahagiamu.
Namun bibirmu senyum menantang dunia yang terbentang di mata, melintasi jalan hidup yang tersisa.
Akan kupertaruhkan hidupku, dan segenap langkah citaku untuk membahagiakanmu ibu.
Doakanlah diri anakmu agar dapat penuh berbakti. Hanya untuk hidup bahagiamu ibu.
Walaupun kita tak bisa bertemu di dunia lagi, tapi suatu saat nanti kita pasti akan berjumpa kembali.
Tunggu saya ibu. Doakan anakmu mati dalam keadaan khusnul khotimah.