Selasa, 10 Januari 2012

Cerpen: Persahabatan

Senja yang dulu indah kini menjadi temaram dan bulan yang dulu purnama kini perlahan berubah menjadi sabit. Seperti keadaan hati seorang gadis remaja yang meratapi kekosongan dan kehampaan hatinya karena ditinggal oleh sahabat yang selama ini setia menemaninya baik syka maupun duka. Dulu, waktu usiaku beranjak 17 tahun, aku mempunyai beberapa sahabat salah satunya Icha. Icha tinggal di Ciracas, JakartaTimur. Dia anak pertama dari 2 bersaudara, dia adalah seorang remaja yang lugu dan sangat ceria. Kami bersahabat suddah cukup lama, aku kenal Icha waktu kami sama-sama mendaftar di salah satu SMP favorit di Jakarta. Setelah awal oerkenalan itu,pertemanan kami berlanjut karena kami diterima di SMP itu. Kami selalu bersama-sama bagai amplop dan perangko yang tak dapat terpisahkan, itulah kami. Kami juga selalu satu kelas.

Setelah lulus SMP aku dan Icha memutuskan untuk satu sekolah, hari pertama aku dan Icha menjalani ospek, rasanya takut dan tegang banget, tapi aku melihat seorang cowok yang sangat perfeck di kantin sekolah, dia sangat manis apalagi pada saat aku melihatnya sedang tersenyum pada beberapa orang yang menyapanya, manis sekali senyumnya, disaat aku sedang asyik memperhatikan cowok itu tanpa ku sadari didepanku ada salah seorang kakak senior yang sangat galak, upzzz…. Aku menabrak dia, dia marah-marah padaku meski aku telah minta maaf padanya, lupakan saja dia kita kembali pada cowok yang aku lihat tadi, tapi aku mencari-cari kesekeliling kantin tapi cowok itu udah gak ada. Icha hanya tertawa melihat tingkah lakuku. Huh… ini semua gara-gara keteledoranku, tapi gak apa-apa suatu hari nanti pasti aku dapat bertemu dengannya kembaali karena aku yakin dia siswa di SMA ini. Aku dan Icha melanjutkan perjalanan kami ke kelas. Ospek pertama telah dimulai, ada beberapa kakak senior masuk kekelas tanpa ku sadari cowok yang ku lihat di kantin sekolah tadi pagi ada didepan mataku. Aku senang sekali karena aku kembali beetemu dengannya walau dia tak ku kenal sama sekali.
Aku mencari tau siapa sebenarnya cowok itu, dari beberapa orang yang aku tanya mereka mengatakan dia adalah ketua osis, namanya radit, Cuma itu informasi aku dapatkan tentang dia, tapi udah cukup kok. Singkat cerita aku dan kak Radit mnjedi tambah akrab tapi cuma sebatas teman. Yang tak pernah aku duga ternyata kak Radit naksir sama Icha, aku sedih banget karena dia adalah cinta pertamaku, tapi apa daya aku tak bisa berbuat apa-apa, dan aku juga sempat kecewa pada Icha karena dia menerima kak Radit menjadi kekasihnya, Icha kan tau kalau aku suka sama kak Radit tapi kenapa dia tega padaku. Mungkin inilah nasibku, setelah kejadian itu persahabatan aku dan Icha menjadi renggang, aku jarang menyapanya dan sepertinya juga dia sekarang jarang ada waktu buat kita berdua sanma-sama lagi seperti dulu. Lagi pula aku tak sekelas dengannya.

Waktu terus berputar, tanpa terasa tahunpun berganti. Akhir-akhir ini aku melihat Icha tampak murung dan gak seperti biasanya yang sangat ceria. Walau aku belum bisa memaafkan Icha tapi walau bagaimanapun dia adalah sahabatku dan aku harus tau apa yang sedang terjadi. Satauku dari berita yang beredar kalau Icha mengidap penyakit tumor yang bersarang diperutnya sejak beberapa tahun ini, sejak dokter memfonis penyakit itu Icha berubah menjadi nak yang pemurung danpendiam. Aku sangat merasakan perubahan itu, tapi setiap kali aku tanya dia tak pernah mau cerita dan jujur padaku. Menurutku dia berubah menjadi seperti itu karena mungkin dia merasa hidupnya tak akan lama lagi. Seiring berjalannya waktu perut Icha makin membesar, aku belum percaya dengan apa yang temen-temen bilang padaku. Aku desak Icha untuk menceritakan apa yang terjadi padanya, akhirnya Icha mau bercerita. Aku sempat terkejut mendangarnya sekaligus sedih bercampur dengan rasa kekecewaan, mengapa baru seekarang dia cerita semua itu padaku. Tapi mungkin karena aku tak sedekat dulu sama dia. Aku juga denger-denger dari yang laen Icha putus, Icha diputuskan kak Radit karena keadaan Icha dg perut yang makin membesar. Aku sedih sekali, tapi dia pernah menghianati persahabatan yang telah lama kami bangun.

Icha masih tetap sekolah, tapi lama kelamaan dia merasa kecil hati dan malu. Dengan kondisi tubuh yang semakin menurun, sampai akhirnya Icha dirawat di Rumah sakit Haji Pondok Gede. Aku dan teman-taman menjenguknya untuk memberikan semangat dan dukungan padanya agar Icha gak semakin drop dan putus asa. Hanya sampai disitu saja kabar yang aku dengar tentang Icha, disatu sisi aku masih kecewa padanya tapi disisi lain aku juga mempersiapkan UN.
****

Pagi hari yang sangat gelap karena hujan turun begitu derasnya, aku sedang duduk melamun memikirkan bagaimana keadaan Icha sekarang, tiba-tiba aku dikejutkan dengan ringtone handphoneku yang berbunyi dank u lihat dilayar hpku ternyata mamanya Icha memanggil, fikirku tumben tapi ada apa ya, kok pagi-pagi gini tante telfon aku. “halo assalamu’alaikum, bisa bicara dengan Cika?”, nada suara mama Icha tampak berat, sepertinya dia sedang menangis. “ii…aaa tante, ada apa kokpagi-pagi begini telfon Cika? Trus bagaimana kabar Icha tante?” tanyaku agak ragu, “Icha telah berpulang Ka” belum sempat aku mengucapkan turut berduka cita pada tante, tut…tut…tut…tut telfon tiba-tiba terputus. Aku menangis dan menyesali dengan semua yang terjadi, dihatiku tersirat penyesalan yang amat mendalam, aku terlalu jahat dan egois pada Icha dan gak pernah meluangkan waktu untuk menjenguk sahabatku sendiri yang menjalani hari-hari akhirnya sendirian, tanpa aku. “Maafkan sahabatmu ini Ca…..hik..hik..hik…!!!” tangisku
Aku datang ke rumah Icha untuk melihat dia terakhir kalinya dan mengucapkan bela sungkawa pada keluarga Icha. Setibaku disana aku melihat Icha terbaring kaku, dikelilingi orang-orang yang membaca yasin untuknya, tiba-tiba pandanganku menjadi gelap. “Icha…..” panggilku, “sudahlah Ka, relakanlah kepergian Icha, agar dia tenang di Alam sana” mama Icha ada disampingku, dan memberikan selembar kertas padaku, “ini dari Icha buat kamu, dia menulis pada saat kamu jarang menemuinya, tante tinggal dulu kebawah”. “makasih tante dan Cika minta maaf kalo selama ini Cika gak pernah menjenguk dia, Cika lagi UN tante,” aku menangis. “gak apa-apa kok tante ngerti, kamu ada masalah ya sama Icha?” tanya mama Icha, “eng…enggak kok tante, kami berdua baik-baik saja””ya udah jangan nangis lagi, tante ke bawah bdulu ya” tante pun meninggalkanku sendiri di kamar Icha karena Perlahan-lahan tadi aku pingsan, aku melihat foto-foto yang ada dimeja samping tempat tidur, betapa lembutnya senyum Icha di foto itu. aku buka kertas ituperlahan-lahan, dan aku pun mulai membaca kata demi kata disurat itu.
Sebelumnya gue minta maaf atas kejadian kemaren”, bukan maksud gue untuk merebut kak Radit dari lo, tapi gue juga cinta dia dan gue juga udah putus ma dia, karena dia bukan laki-laki yang baik. O ya, lo tau kan kalo gue gak bisa buat puisi kayak lo, tapi ini puisi gue buat khusus sahabat sejati gue ini, maaf ya kalo buatan gue gak sebagus puisi-puisi lo, heheheh……..
Surat Terakhir
Butir-butiran air mata yang jatuh setetes demi setetes
Menemani dan menjadi saksi saat ku tulis suratku yang terakhir
Jika hanya derita yang harus aku terima
Jika hanya kemitian yang harus ku alami
Aku bersedia menjalani tanpa kesedihan
Namun ketika kau berucap bahwa untukku
Sudah tak ada lagi maaf terasa lemah lunglai tubuh ini
Sahabat yang slalu mengisi hari-hariku
Seberapa besarpun salah yang ku pandang
Seberapa rendah budi yang ku jalani…maafkan aku
Derita karena bersalah berlarut-larut tanpa henti
Dan tampaknya Tuhan sudah berkenan menjemputku
Jangan menangis sahabat….walau tak terkatakan
Sungguh aku merasa kau telah memaafkanku
Slamat tinggal sahabat sejatiku
Ikhlaskanlah kepergiankui
Smoga sepeninggalku dari sisimu
Bahagian akan slalu menemanimu
Miss u sobat
ICHA
****

Keesokan harinya Aku baru sadar ternyata Icha hari ini berulang tahun yang ke 17, aku bermalam di rumah Icha, dan pagi-pagi aku segera kebawah dan akan mengikuti pemakaman Icha. Sebenarrnya aku tak sanggup melihat makam itu, karena akan mengingatkanku akan kenangan” kami berdua dulu, tapi aku coba untuk tegar untuk melangkahkan kaki menuju makamnya. Setelah pemakaman selesai dan semua orang pulang, aku sendiri di makam itu, sepi. Aku menangis disamping nisan Icha, walau tersendat-sendat dan terbata karena aku nangis aku nyanyikan lagu happy birthday buat Icha, dan memandangi nisan yang ada dihadapanku saat ini, makam yang sunyi, aku masih menangis sendiri di makam bisu itu, sebelum pulang aku meninggalkan secarik kertas balasan surat Icha, walau mungkin tak akan pernah dibaca olehnya, tapi itulah kenanganterakhirku buat Icha.

Kenangan indah tentang kita akan slalu ku ingat setiap detiknya
Jika ku tutup mataku, aku masih dapat melihatmu
Kau memperlihatkan senyum termanismu
Tapi itu hanya lamunan sesaatku
Kini kau telah jauh tinggalkanku
Aku belum sempat meminta maaf padamu dan menyayangimu
Dan tak ingin kau pergi jauh
Tinggalkan kenangan kita bersama
Tapi takdir berkatab lain
Terlalu cepat Tuhan memanggilmu
Hanya sebuah puisi ini aku persembahkan untukmu
Kepergianmu, meninggalkan kisah yang sangat pahit bagiku
Aku akan selalu mengenangmu, sahabat terbaikku
Semoga kau tenang disana
Suatu saat kita pasti akan bertemu kembali
(the end)

















Terlelapnya Dewa Cinta di Hatiku
Mataku melekat pada tetesan-tetesan air hujan yang turun, yang memukuli kaca tipis jendela kamarku. Suaranya berderap seperti bunyi hentakan sepatu prajurit yang tengah berbaris. Kuhirup nafas dalam-dalam. Aku senang jika hujan turun, karena aku sangat suka mencium aroma khas saat air hujan tengah beradu dengan tanah. Sangat tepat menggambarkan kesan kesendirian dan kesenduan.
Kulemparkan ponselku begitu saja ke atas kasur yang bersepray warna hijau lumut. Alat komunikasi yang baru saja kugunakan untuk menjawab panggilan dari Ibu. Sebenarnya aku sangat menyayangi wanita paruh baya itu. Namun terkadang perasaan manis itu bisa berubah menjadi kemarahan dan kekesalan yang merasuk. Seharusnya aku memang tidak pantas untuk marah kepada wanita yang telah mempertaruhkan nyawa ketika hendak melahirkanku, serta yang telah merawatku hingga saat ini aku berusia 20 tahun.
Tapi apa daya, aku sering sekali kehabisan kesabaran setiap kali Mama mempertanyakan satu hal kepadaku. Hal yang merupakan satu-satunya pemicu masalah diantara kami. Mama selalu mendesakku untuk segera memperkenalkan kekasihku kepadanya. Tapi bagaimana caranya? Saat ini aku tidak mempunyai seorang pacar. Atau lebih tepatnya, aku TIDAK PERNAH punya pacar dan merasakan yang namanya pacaran.
Usia 20 tahun memang masih tergolong terlalu muda untuk menikah. Selain itu aku juga masih mempunyai seorang kakak lelaki yang masih melajang. Tapi Mama memang tidak berniat untuk segera menikahkanku. Beliau hanya ingin aku memiliki seorang kekasih, layaknya remaja-remaja perempuan lainnya. Sikap cuekku pada laki-laki, ditambah kesibukanku kuliah serta teman-temanku yang hampir seluruhnya perempuan, selalu membuat Mama khawatir jangan-jangan aku lebih suka perempuan daripada laki-laki. Dan tuduhan itulah yang selalu membuatku gerah setengah mati.
Sebenarnya dulu saat berumur belasan tahun aku juga pernah merasakan hidup seperti gadis remaja ‘biasa’ yang mengenal dan merasakan merah jambu cinta dan birunya kasih. Tapi ternyata rasa itu hinggap di waktu dan tempat yang salah.
Papa tidak setuju aku dekat-dekat dengan seorang cowok, dengan alasan aku masih terlalu muda. Padahal kala itu usiaku sudah 17 tahun. Suatu hari Papa memergokiku sedang jalan bareng seorang teman cowok sepulang sekolah. Sorenya setiba Papa di rumah, tanpa ada ucapan salam maupun basa-basi, Papa langsung menghampiriku yang tengah menonton televisi, lalu menampar wajahku keras. Papa marah karena aku tidak mengindahkan larangannya. Padahal cowok itu hanya sekedar teman dekat (gebetan).
Lagipula apa salahku? Aku hanya seorang gadis muda yang sedang mengikuti alur kehidupan sesuai usiaku saat ini. Tapi Papa tidak pernah mau mengerti. Beliau menampar dan menghujaniku berbait-bait kalimat sumpah serapah. Seolah aku adalah seorang teroris yang telah membom suatu Negara dan menyebabkan kematian jutaan orang tak berdosa.
Aku udah gede. Papa jangan perlakukan aku seperti binatang!” Jeritku dengan suara melengking tinggi. Papa semakin marah mendengar teriakanku. Tangannya bertambah keras memukuliku, bahkan juga Mama serta kakak lelakiku yang berniat melerai.
Tidak lama setelahnya Mama memilih untuk berpisah dengan Papa. Karena kami sudah tidak tahan lagi dengan sikap Papa yang kelewat diktator dan otoriter. Yang sangat sering salah menggunakan dan meletakkan tangannya, ditempat yang seharusnya dihujaninya kasih sayang dan bukannya tamparan serta cercaan. Seolah-olah Mama, kedua kakak lelaki dan aku, adalah pekerja rodi yang harus menerima pukulan dan hukuman setiap kali tidak turut pada peraturan para penjajah.
Sejak peristiwa itu, aku mengalami trauma. Aku berubah menjadi sangat cemas bahkan takut untuk dekat-dekat dengan makhluk berbentuk cowok. Dalam sekejap, rasa percaya dan simpatiku pada cowok menguap tanpa bekas dari relung hati dan kehidupanku. Jangankan ingin pacaran, memikirkan hal itu saja sudah membuatku enggan setengah mati.
Kualihkan pandangan dari kaca jendelaku yang masih dipenuhi air hujan, lalu menatap ponselku sejenak. Baru saja Mama bilang di telefon, bahwa bulan depan Mama, mas Sakti beserta istrinya, akan datang mengunjungiku ke sini. Aku yang kuliah di Universitas Sriwijaya Palembang, memang harus tinggal terpisah dari keluargaku yang berdomisili di Medan Sumatera Utara. Ada senangnya mereka akan mengunjungiku, mengingat rasa rindu yang sudah membuncah di dalam hati karena sudah hampir 6 bulan aku tidak pernah pulang mengunjungi mereka. Tapi satu yang membuatku pusing, karena ucapan Mama yang bilang bahwa bulan depan aku sudah HARUS mempunyai pacar yang akan kuperkenalkan. Kalau tidak, aku akan dijodohkan dengan anak kenalannya.
* * *
Sengatan mentari yang sangat terik memaksaku untuk buru-buru memasukkan sepeda motor ke halaman rumah kontrakanku. Bergegas aku kembali untuk menutup pintu pagar yang tadi kutendang begitu saja. Dengan kasar kupungut sehelai sobekan koran yang mengganjal di bawah pagar. Baru saja ingin membuangnya ke tong sampah, saat itulah mataku menangkap tulisan yang tertera di sebuah kolom. Kubaca dengan cermat, kemudian kubawa potongan koran tersebut ke dalam rumah.
Aku bingung. Mungkin saja ini ulah orang-orang iseng. Akan tetapi ultimatum Mama yang tenggang waktunya tinggal dua pekan lagi, memaksaku untuk berfikir ulang. Kutimang-timang koran yang sangat kotor dan mulai berwarna kekuningan itu. Kukibas-kibaskan agar bekas tapak sepatu diatasnya bisa berkurang. Kemudian kubaca kembali tulisan di dalamnya. Sebuah kolom Biro jodoh yang menamai dirinya Malaikat Cinta. Dan dari sekian banyak nama yang mempromosikan diri, hanya satu yang membuatku tertarik :
‘Jeremy Pram/ 27 tahun/ Masinis KA/ Lajang/ 085211111111’
Dari dulu aku paling tidak tertarik dengan yang namanya layanan biro jodoh. Menurutku para peminatnya hanyalah manusia-manusia yang tidak menghargai cinta sehingga menyerahkan urusan paling sensitiv tersebut kepada pihak lain. Tapi kali ini semua prinsip itu serasa menguap begitu saja dari otakku. Ancaman Mama terlalu mengerikan. Aku tidak mau jika harus dijodohkan dengan anak kenalan Mama. Aku dan Mama kan sudah berbeda generasi, jadi kriteria pilihan Mama pasti sangat berbeda dengan kriteria pria impianku. Lagipula kalau aku tidak menyukai pria yang ada di biro jodoh ini, aku bisa segera mengakhiri hubungan. Anggap saja dia hanya pacar pinjaman yang akan kugunakan untuk menghadapi kedatangan Mama.
Iseng, kuraih ponselku dari dalam ransel, kemudian menekan nomor ponsel Jeremy Pram yang tertera di koran. Aku sedikit deg-degan menunggu sambungan telefon. Beberapa detik kemudian, sebuah suara berat dan agak serak menggema.
Aduh..!” Ringisnya, di tengah suara yang hingar bingar.
Halo.” Sapaku bingung mendengar ucapannya.
Eh, halo. Sorry ini dengan siapa ya?” Tanyanya. Kini sekitarnya sudah tenang, tak terdengar lagi keramaian sebelumnya.
Saya Pelangi, saya lihat nama dan nomor kamu di kolom Malaikat Cinta di surat kabar lokal.” Ucapku agak ragu.
Wah, gak nyangka ternyata ada yang tertarik juga sama kolom itu. Padahal saya aja udah hampir lupa tuh.” Serunya sebelum kemudian memperdengarkan tawanya yang renyah ke telingaku.
Maaf ya kalau saya ganggu. Kamu lagi sibuk ya? Tadi kok berisik banget?” Kuberanikan diri untuk mulai bertanya.
Tadi saya emang lagi di stasiun kereta, tapi sekarang udah nggak. Kamu juga gak ngeganggu kok, saya lagi libur. Liburan panjang.” Sekali lagi cowok yang belum kukenal itu menghadiahiku tawanya yang entah kenapa langsung kusukai. Mungkin karena sama-sama jomblo dalam waktu yang lama, aku dan Jeremy langsung cepat akrab. Dia ternyata seorang yang cerdas dan up to date. Dia selalu bisa mengimbangi topik obrolan yang kulahirkan. Besoknya selepas makan malam, kuputuskan untuk menelefon Jeremy lagi.
Aduh kepalaku.” Ringisnya lirih.
Jeremy, kamu kenapa? Sakit ya?” Berondongku sedikit khawatir. Diam beberapa detik hingga kemudian dia menjawab.
Sorry ya. aku memang sering merasa sakit kepala. Tapi sekarang udah baikan kok.” Jawabnya. Kali ini suaranya sudah normal lagi.
Beneran udah gak sakit lagi?”
Iya, sakitnya udah hilang kok. Aku seneng deh dikhawatirin sama kamu.” Godanya, tak ayal membuat wajahku merona.
* * *
Seminggu sudah aku dan Jeremy saling berkomunikasi, walaupun bisa dibilang selalu aku yang menelfonnya lebih dahulu. Apakah dia tidak menyukaiku? Tapi kalau sedang ngobrol, dia sangat sering mengatakan kalau dia senang bisa ngobrol denganku. Dia juga tak jarang menggodaku, bahkan terkadang menggunakan kalimat-kalimat gombal yang garing. Tapi memang ada yang aneh. Jeremy tak pernah sekalipun membalas pesan singkat yang kukirimkan. Akan tetapi selalu ada setiap kali ku telefon. Apakah dia type laki-laki pelit yang terlalu perhitungan? Kucoba mengingat-ingat kembali setiap potongan percakapan kami. Entah kenapa aku sering merasa khawatir setiap kali mendengarnya meringis dan mengeluhkan sakit kepalanya. Katanya dia sering merasa pusing, namun selalu mengelak setiap kutanyakan tentang penyakitnya. “Hm, mungkin Jeremy bukannya pelit, tapi dia harus menyisihkan sebagian besar uangnya untuk biaya pengobatan kepalanya.” Batinku, menghibur diri sendiri.
* * *
Aku mulai kelimpungan. Deadline sudah hampir habis. Tiga hari lagi Mama akan datang ke Palembang. Sudah sejak empat hari lalu aku mengajak Jeremy ketemuan, namun cowok itu selalu saja berdalih untuk menghindar. Sekarang aku sudah tidak perduli kalaupun dia tidak menyukaiku. Satu-satunya tujuanku kini hanyalah ingin minta bantuannya untuk pura-pura menjadi kekasihku di hadapan Mama. Kuraih ponselku, lalu menghubungi Jeremy untuk kesekian kalinya.
Ya?” Sapanya sedetik setelah nada pertama sambungan telefon.
Gimana, bisa gak kita ketemuan? Please.” Seruku tanpa basa-basi.
Aduh!” Jeritnya.
Kamu kenapa? Sakit lagi? Jeremy, kayaknya penyakit kamu serius deh.” Cecarku tanpa berusaha sedikitpun menutupi rasa cemasku terhadapnya. Hening beberapa detik.
Pelangi, thanx banget ya kamu perhatian sama aku. Aku pasti gak akan pernah ngelupain kamu.” Ucapnya. Suaranya sudah kembali tenang tak menunjukkan rasa sakit yang dideranya lagi.
Ketemuannya gimana?” Tak kuhiraukan ucapannya. Diam lagi, lebih lama.
Sebenernya aku belum siap. Tapi karena kamu ngotot, biar aku ngalah aja. Besok jam 10 pagi kamu datang ke stasiun kereta. Kamu temuin Pak Dimo, biar beliau yang antarkan kamu ke tempatku.” Paparnya, seraya menghela nafas panjang. “Pelangi, aku sayang sama kamu.” Imbuhnya lalu mematikan telefon sebelum aku sempat menjawab.
* * *
Bola mataku menyapu seluruh stasiun Kertapati, mencoba mencari sosok Pak Dimo seperti yang digambarkan oleh Jeremy. Kemudian tampak seorang pria separuh baya yang berkulit kecoklatan, tinggi dan buncit, sedang menyeberangi rel. Cepat-cepat kuhampiri laki-laki yang mengenakan topi pet berwarna hitam tersebut. Kuhembuskan nafas lega begitu kakiku berhasil menjajari langkahnya, dan ekor mataku sempat menangkap nametack-nya. Dimo Wardhani.
Maaf mengganggu sebentar Pak Dimo. Saya Pelangi.” Sapaku sembari menyodorkan telapak tangan. Lelaki itu menghentikan langkahnya, mengamatiku beberapa saat sebelum kemudian menyambut uluran tanganku.
Ada yang bisa Bapak bantu?” Tanyanya ramah.
Saya ingin ketemu Jeremy pak. Dia suruh saya kemari, biar Bapak yang anterin saya ke tempatnya.” Pintaku sopan. Kutatap wajah kukuh itu lamat-lamat karena hampir semenit lamanya beliau diam dan justru memandangku dari ujung kepala hingga ujung kaki.
Kamu ada hubungan apa sama dia? Sudah kenal berapa lama? Kapan terakhir bertemu?” Berondongnya membabi buta. Bingung dengan sikapnya, kututurkan dengan jujur mengenai pertemuanku dengan Jeremy.
Ini keretanya nak.” Ujar Pak Dimo lirih, menunjuk sebuah kereta berwarna putih. Lelaki itu mengusap wajahnya dengan gundah, seiring jiwaku yang hampir saja melompat meninggalkan ragaku. Tubuhku limbung, namun berhasil ditangkap oleh Pak Dimo. Dihadapanku teronggok sebuah kereta yang tinggal bangkai. Beberapa bagian sudah hancur dan lecet. Kaca-kacanya pun sudah pecah.
Tak ada kata yang keluar dari bibirku, hanya tetesan-tetesan bening yang tak mau berhenti. Pun saat Pak Dimo membawaku ke kantornya dan memperlihatkan sebuah artikel dalam komputer usangnya.
Kecelakaan Kereta Api penumpang Limex Sriwijaya jurusan Kertapati (Palembang)-Tanjung Karang (Bandarlampung) terjadi sekitar pukul 7 pagi (Sabtu, 16/08/2008) di daerah Kampung Baru, Kedaton, Bandarlampung. Kereta Api Limex Sriwijaya yang mengangkut penumpang dari arah Palembang itu menabrak lokomotif Kereta Api Batubara rangkaian panjang (Babaranjang) yang sedang berhenti di jalur rel. Entah apa sebabnya, kedua Kereta Api berada pada satu jalur rel yang sama. Sehingga tak dapat dihindarikan lagi kecelakaan. Kereta Api penumpang Limex Sriwijaya menabrak Kereta Api Babaranjang pagi itu. Menurut sumber Okezone, sebanyak 8 orang penumpang meninggal dunia. Salah satunya adalah seorang masinis Kereta Api penumpang Limex Sriwijaya.”
Dia meninggal dengan kondisi batok kepala hancur karena terjepit.” Kuangkat tanganku sebagai isyarat agar Pak Dimo tidak melanjutkan ucapannya lagi. Kuseka air mataku yang semakin membanjir. Kini aku tahu penyakit apa yang bersarang di kepala Jeremy. Dan aku juga bisa paham mengapa dia tak pernah membalas pesan singkatku. “Nak, Bapak cuma bisa pesan satu hal sama kamu. Kalau ingin menghubungi seseorang yang kamu tahu lewat media, lebih baik kamu cek terlebih dahulu tanggal media tersebut.” Jari Pak Dimo menunjuk potongan koran berisi kolom Malaikat Cinta yang memuat data Jeremy . Ternyata disudut kanan atas surat kabar tersebut tertera tanggal 02 Maret 2008. Tanggal yang sama sekali tak kuperhatikan sebelum menghubungi Jeremy. Dan itu sudah hampir tiga tahun berselang. Kini sudah tahun 2011.
Keesokan harinya, aku kembali lagi ke stasiun Kertapati. Kali ini aku membawa kembang untuk kutaburkan di bangkai kereta bekas milik Jeremy.
Hampir saja aku jatuh cinta padamu Jeremy. Andai kamu tahu betapa bahagianya aku saat kemarin di telefon kamu bilang kalau kamu sayang aku. Tapi sekarang dunia kita sudah berbeda. Aku harap kamu bisa menemukan jodohmu di alam sana. Kekasih abadi, yang takkan terpisahkan lagi oleh kematian. Mungkin aku memang sudah ditakdirkan Tuhan untuk jomblo seumur hidup. Sepertinya dewa cintaku sedang tertidur lelap. Dan mungkin aku harus pasrah dengan pria pilihan Mama.” Bathinku miris.
Pernah suatu kali aku kangen pada Jeremy, iseng kuhubungi nomor ponselnya. Namun yang terdengar hanya suara orang asing.
Maaf, nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan!”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komen mu adalah penilaian untuk ku...