Kata Pengantar
Makalah ini dibuat selain untuk
tugas kuliah juga sebagai referensi untuk menambah pengetahuan kita semua
sebagai pembaca mengenai teori Semiotika ini.
Dalam bab ini dibicarakan secara
berturut – turut mengenai teori Semiotika. Semiotika merupakan istilah
yang berasal dari kata Yunani semeion yang berarti ‘tanda’ atau sign
dalam bahasa Inggris itu adalah ‘ilmu yang mempelajari sistem tanda ‘ seperti:
bahasa, kode, sinyal, dan sebagainya.
Dalam penyelesaian makalah ini,
penulis banyak mengalami kesulitan, terutama disebabkan factor kurangnya
pengetahuan penulis mengenai teori semiotika. Namun, berkat bimbingan dan
bantuan dari berbagai pihak akhirnya makalah ini dapat terselesaikan tepat
waktu. Karena itu, sepantasnya jika penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1.
Allah AWT yang selalu member kami kesehatan serta
perlindungan,
2.
Orang Tua yang selalu berdoa untuk kami anaknya,
3.
Bpk. Maulfy Syaiful S.Pd selaku dosen pembimbing mata
kuliah menyimak, dan
4.
Teman – teman semua yang ikut membantu proses
penyelesaian makalah ini.
Terimakasih disampaikan kepada
pembaca makalah ini, semoga bermanfaat bagi kehidupan sekarang sampai yang
akan datang. Penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan. Oleh
karena itu, penulis mengharapkan adanya kritik saran agar makalah ini dapat
menjadi lebih baik. Atas perhatiannya kami mengucapkan terima kasih.
Penulis
Daftar Isi
Kata Pengantar…………………………………………………………...1
Daftar
Isi………………………………………………………………….2
Pengertian
Semiotika……………………………………… ……………..3
Semiotik Pragmatik (semiotic
pragmatic) ………………… …………….3
Semiotik Sintaktik (semiotic
syntactic) ….……………...… ……………..3
Semiotik Semantik (semiotic
semantic)………………...…………………4
Teori Semiotika menurut beberapa
ahli…………………...………………4
Semiotika Teks…………………………………………..……………….10
BIDANG
TERAPAN SEMIOTIK……………………..…….…………11
1. Media………………………………………………….….…………...12
2.
Periklanan…………………………………………….…….………….14
3. Tanda NonVerbal…………………………………….………………..15
4. Film…………………………………………………….………………16
5. Komik
Kartun Karikatur……………………………….………………16
6. Sastra………………………………………………….………………..18
7. Musik ……………………………………………….………………….19
Penutup……………………………………………………………………20
TEORI SEMIOTIK
Semiotika merupakan
istilah yang berasal dari kata Yunani semeion yang berarti ‘tanda’
atau sign dalam bahasa Inggris itu adalah ‘ilmu yang mempelajari
sistem tanda ‘ seperti: bahasa, kode, sinyal, dan sebagainya.
Tanda-tanda adalah basis dari seluruh
komunikasi (littlejhon:1996). Manusia dengan perantaraan tanda-tanda, dapat
melakukan komunikasi dengan sesamanya. Banyak hal bisa dikomunikasikan di dunia
ini.
Semiotika adalah suatu ilmu atau
metode analisis untuk mengkaji tanda. Tanda-tanda adalah perangkat yang kita
pakai dalam upaya berusaha mencari jalan di dunia ini, ditengah-tengah manusia
dan bersama-sama manusia. Semiotika, atau dalam istilah Barthes, semiologi,
pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai
hal-hal (things). Memaknai (to sinify) dalam hal ini tidak dapat dicampur
adukkan dengan mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa
objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek-objek itu
hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda.
Sistem Tanda (Semiotik)
Semiotik (semiotic) adalah teori tentang pemberian ‘tanda’.
Secara garis besar semiotik digolongkan menjadi tiga konsep dasar, yaitu
semiotik pragmatik (semiotic pragmatic), semiotik sintatik (semiotic
syntactic), dan semiotik semantik (semiotic semantic) (Wikipedia,2007).
Semiotik Pragmatik (semiotic pragmatic)
Semiotik Pragmatik menguraikan tentang asal usul tanda,
kegunaan tanda oleh yang menerapkannya, dan efek tanda bagi yang menginterpretasikan,
dalam batas perilaku subyek. Dalam arsitektur, semiotik prakmatik merupakan
tinjauan tentang pengaruh arsitektur (sebagai sistem tanda) terhadap manusia
dalam menggunakan bangunan. Semiotik Prakmatik Arsitektur berpengaruh terhadap
indera manusia dan perasaan pribadi (kesinambungan, posisi tubuh, otot dan
persendian). Hasil karya arsitektur akan dimaknai sebagai suatu hasil persepsi
oleh pengamatnya, hasil persepsi tersebut kemudian dapat mempengaruhi pengamat
sebagai pemakai dalam menggunakan hasil karya arsitektur. Dengan kata lain,
hasil karya arsitektur merupakan wujud yang dapat mempengaruhi pemakainya.
Semiotik Sintaktik (semiotic syntactic)
Semiotik Sintaktik menguraikan tentang kombinasi tanda tanpa
memperhatikan ‘makna’nya ataupun hubungannya terhadap perilaku subyek. Semiotik
Sintaktik ini mengabaikan pengaruh akibat bagi subyek yang menginterpretasikan.
Dalam arsitektur, semiotik sintaktik merupakan tinjauan tentang perwujudan
arsitektur sebagai paduan dan kombinasi dari berbagai sistem tanda. Hasil karya
arsitektur akan dapat diuraikan secara komposisional dan ke dalam
bagian-bagiannya, hubungan antar bagian dalam keseluruhan akan dapat diuraikan
secara jelas.
Semiotik Semantik (semiotic semantic)
Semiotik Sematik menguraikan tentang pengertian suatu tanda
sesuai dengan ‘arti’ yang disampaikan. Dalam arsitektur semiotik semantik
merupakan tinjauan tentang sistem tanda yang dapat sesuai dengan arti yang
disampaikan. Hasil karya arsitektur merupakan perwujudan makna yang ingin
disampaikan oleh perancangnya yang disampaikan melalui ekspresi wujudnya. Wujud
tersebut akan dimaknai kembali sebagai suatu hasil persepsi oleh pengamatnya.
Perwujudan makna suatu rancangan dapat dikatakan berhasil jika makna atau
‘arti’ yang ingin disampaikan oleh perancang melalui rancangannya dapat
dipahami dan diterima secara tepat oleh pengamatnya, jika ekspresi yang ingin
disampaikan perancangnya sama dengan persepsi pengamatnya.
TEORI SEMIOTIK
C.S Peirce
Peirce mengemukakan teori segitiga makna atau triangle
meaning yang terdiri dari tiga elemen utama, yakni tanda (sign), object, dan
interpretant. Tanda adalah sesuatu yang berbentuk fisik yang dapat ditangkap
oleh panca indera manusia dan merupakan sesuatu yang merujuk
(merepresentasikan) hal lain di luar tanda itu sendiri. Tanda menurut Peirce
terdiri dari Simbol (tanda yang muncul dari kesepakatan), Ikon (tanda yang
muncul dari perwakilan fisik) dan Indeks (tanda yang muncul dari hubungan
sebab-akibat). Sedangkan acuan tanda ini disebut objek.Objek atau acuan tanda
adalah konteks sosial yang menjadi referensi dari tanda atau sesuatu yang
dirujuk tanda.
Interpretant atau pengguna tanda adalah konsep pemikiran
dari orang yang menggunakan tanda dan menurunkannya ke suatu makna tertentu
atau makna yang ada dalam benak seseorang tentang objek yang dirujuk sebuah
tanda.Hal yang terpenting dalam proses semiosis adalah bagaimana makna muncul
dari sebuah tanda ketika tanda itu digunakan orang saat berkomunikasi.
Contoh:
Saat seorang gadis mengenakan rok mini, maka gadis itu sedang mengomunikasi
mengenai dirinya kepada orang lain yang bisa jadi memaknainya sebagai simbol
keseksian. Begitu pula ketika Nadia Saphira muncul di film Coklat Strowberi
dengan akting dan penampilan fisiknya yang memikat, para penonton bisa saja
memaknainya sebagai icon wanita muda cantik dan menggairahkan.
Ferdinand De Saussure
Teori Semiotik ini dikemukakan oleh Ferdinand De Saussure
(1857-1913). Dalam teori ini semiotik dibagi menjadi dua bagian (dikotomi)
yaitu penanda (signifier) dan pertanda (signified). Penanda dilihat sebagai
bentuk/wujud fisik dapat dikenal melalui wujud karya arsitektur, sedang
pertanda dilihat sebagai makna yang terungkap melalui konsep, fungsi dan/atau
nilai-nlai yang terkandung didalam karya arsitektur. Eksistensi semiotika
Saussure adalah relasi antara penanda dan petanda berdasarkan konvensi, biasa
disebut dengan signifikasi. Semiotika signifikasi adalah sistem tanda yang
mempelajari relasi elemen tanda dalam sebuah sistem berdasarkan aturan atau
konvensi tertentu. Kesepakatan sosial diperlukan untuk dapat memaknai tanda
tersebut.
Menurut Saussure, tanda terdiri dari: Bunyi-bunyian dan gambar, disebut
signifier atau penanda, dan konsep-konsep dari bunyi-bunyian dan gambar,
disebut signified.
Dalam
berkomunikasi, seseorang menggunakan tanda untuk mengirim makna tentang objek
dan orang lain akan menginterpretasikan tanda tersebut. Objek bagi Saussure
disebut “referent”. Hampir serupa dengan Peirce yang mengistilahkan
interpretant untuk signified dan object untuk signifier, bedanya Saussure
memaknai “objek” sebagai referent dan menyebutkannya sebagai unsur tambahan
dalam proses penandaan. Contoh: ketika orang menyebut kata “anjing” (signifier)
dengan nada mengumpat maka hal tersebut merupakan tanda kesialan (signified).
Begitulah, menurut Saussure, “Signifier dan signified merupakan kesatuan, tak
dapat dipisahkan, seperti dua sisi dari sehelai kertas.” (Sobur, 2006).
Roland Barthes
Teori ini dikemukakan oleh Roland Barthes (1915-1980), dalam
teorinya tersebut Barthes mengembangkan semiotika menjadi 2 tingkatan
pertandaan, yaitu tingkat denotasi dan konotasi. Denotasi adalah tingkat
pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda pada realitas,
menghasilkan makna eksplisit, langsung, dan pasti. Konotasi adalah tingkat
pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda yang di dalamnya
beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung, dan tidak pasti (Yusita
Kusumarini,2006).
Roland
Barthes adalah penerus pemikiran Saussure. Saussure tertarik pada cara kompleks
pembentukan kalimat dan cara bentuk-bentuk kalimat menentukan makna, tetapi
kurang tertarik pada kenyataan bahwa kalimat yang sama bisa saja menyampaikan
makna yang berbeda pada orang yang berbeda situasinya.
Roland
Barthes meneruskan pemikiran tersebut dengan menekankan interaksi antara teks
dengan pengalaman personal dan kultural penggunanya, interaksi antara konvensi
dalam teks dengan konvensi yang dialami dan diharapkan oleh penggunanya. Gagasan
Barthes ini dikenal dengan “order of signification”, mencakup denotasi (makna
sebenarnya sesuai kamus) dan konotasi (makna ganda yang lahir dari pengalaman
kultural dan personal). Di sinilah titik perbedaan Saussure dan Barthes
meskipun Barthes tetap mempergunakan istilah signifier-signified yang diusung
Saussure.
Barthes juga melihat aspek lain dari penandaan yaitu “mitos”
yang menandai suatu masyarakat. “Mitos” menurut Barthes terletak pada tingkat
kedua penandaan, jadi setelah terbentuk sistem sign-signifier-signified, tanda
tersebut akan menjadi penanda baru yang kemudian memiliki petanda kedua dan
membentuk tanda baru. Jadi, ketika suatu tanda yang memiliki makna konotasi
kemudian berkembang menjadi makna denotasi, maka makna denotasi tersebut akan menjadi
mitos.
Misalnya:
Pohon beringin yang rindang dan lebat menimbulkan konotasi “keramat” karena
dianggap sebagai hunian para makhluk halus. Konotasi “keramat” ini kemudian
berkembang menjadi asumsi umum yang melekat pada simbol pohon beringin, sehingga
pohon beringin yang keramat bukan lagi menjadi sebuah konotasi tapi berubah
menjadi denotasi pada pemaknaan tingkat kedua. Pada tahap ini, “pohon beringin
yang keramat” akhirnya dianggap sebagai sebuah Mitos.
Baudrillard
Baudrillard memperkenalkan teori simulasi. Di mana peristiwa yang tampil tidak
mempunyai asal-usul yang jelas, tidak merujuk pada realitas yang sudah ada,
tidak mempunyai sumber otoritas yang diketahui. Konsekuensinya, kata
Baudrillard, kita hidup dalam apa yang disebutnya hiperrealitas (hyper-reality).
Segala sesuatu merupakan tiruan, tepatnya tiruan dari tiruan, dan yang palsu
tampaknya lebih nyata dari kenyataannya (Sobur, 2006).
Sebuah
iklan menampilkan seorang pria lemah yang kemudian menenggak sebutir pil
multivitamin, seketika pria tersebut memiliki energi yang luar biasa, mampu
mengerek sebuah truk, tentu hanya ‘mengada-ada’. Karena, mana mungkin hanya
karena sebutir pil seseorang dapat berubah kuat luar biasa. Padahal iklan
tersebut hanya ingin menyampaikan pesan produk sebagai multivitamin yang
memberi asupan energi tambahan untuk beraktivitas sehari-hari agar tidak mudah
capek. Namun, cerita iklan dibuat ‘luar biasa’ agar konsumen percaya. Inilah
tipuan realitas atau hiperealitas yang merupakan hasil konstruksi pembuat
iklan. Barangkali kita masih teringat dengan pengalaman masa kecil (entah
sekarang masih ada atau sudah lenyap) di pasar-pasar tradisional melihat
atraksi seorang penjual obat yang memamerkan hiburan sulap kemudian mendemokan
khasiat obat di hadapan penonton? Padahal sesungguhnya atraksi tersebut telah
‘direkayasa’ agar terlihat benar-benar manjur di hadapan penonton dan penonton
tertarik untuk beramai-ramai membeli obatnya.
J. Derrida
Derrida terkenal dengan model semiotika Dekonstruksi-nya.
Dekonstruksi, menurut Derrida, adalah sebagai alternatif untuk menolak segala
keterbatasan penafsiran ataupun bentuk kesimpulan yang baku. Konsep
Dekonstruksi –yang dimulai dengan konsep demistifikasi, pembongkaran produk
pikiran rasional yang percaya kepada kemurnian realitas—pada dasarnya
dimaksudkan menghilangkan struktur pemahaman tanda-tanda (siginifier) melalui
penyusunan konsep (signified). Dalam teori Grammatology, Derrida menemukan
konsepsi tak pernah membangun arti tanda-tanda secara murni, karena semua tanda
senantiasa sudah mengandung artikulasi lain (Subangun, 1994 dalam Sobur, 2006:
100). Dekonstruksi, pertama sekali, adalah usaha membalik secara terus-menerus
hirarki oposisi biner dengan mempertaruhkan bahasa sebagai medannya. Dengan
demikian, yang semula pusat, fondasi, prinsip, diplesetkan sehingga berada di
pinggir, tidak lagi fondasi, dan tidak lagi prinsip. Strategi pembalikan ini
dijalankan dalam kesementaraan dan ketidakstabilan yang permanen sehingga bisa
dilanjutkan tanpa batas.
Sebuah gereja tua dengan arsitektur gothic di depan Istiqlal
bisa merefleksikan banyak hal. Ke-gothic-annya bisa merefleksikan ideologi abad
pertengahan yang dikenal sebagai abad kegelapan. Seseorang bisa menafsirkan
bahwa ajaran yang dihantarkan dalam gereja tersebut cenderung ‘sesat’ atau
menggiring jemaatnya pada hal-hal yang justru bertentangan dari moral-moral
keagamaan yang seharusnya, misalnya mengadakan persembahan-persembahan berbau
mistis di altar gereja, dan sebagainya.
Namun, Ke-gothic-an itu juga dapat ditafsirkan sebagai
‘klasik’ yang menandakan kemurnian dan kemuliaan ajarannya. Sesuatu yang klasik
biasanya dianggap bernilai tinggi, ‘berpengalaman’, teruji zaman, sehingga
lebih dipercaya daripada sesuatu yang sifatnya temporer.Di lain pihak, bentuk
gereja yang menjulang langsing ke langit bisa ditafsirkan sebagai ‘fokus ke
atas’ yang memiliki nilai spiritual yang amat tinggi. Gereja tersebut
menawarkan kekhidmatan yang indah yang ‘mempertemukan’ jemaat dan Tuhan-nya
secara khusuk, semata-mata demi Tuhan. Sebuah persembahan jiwa yang utuh dan
istimewa.
Dekonstruksi membuka luas pemaknaan sebuah tanda, sehingga
makna-makna dan ideologi baru mengalir tanpa henti dari tanda tersebut.
Munculnya ideologi baru bersifat menyingkirkan (“menghancurkan” atau
mendestruksi) makna sebelumnya, terus-menerus tanpa henti hingga menghasilkan
puing-puing makna dan ideologi yang tak terbatas.Berbeda dari Baudrillard yang
melihat tanda sebagai hasil konstruksi simulatif suatu realitas, Derrida lebih
melihat tanda sebagai gunungan realitas yang menyembunyikan sejumlah ideologi
yang membentuk atau dibentuk oleh makna tertentu. Makna-makna dan ideologi itu
dibongkar melalui teknik dekonstruksi. Namun, baik Baurillard maupun Derrida
sepakat bahwa di balik tanda tersembunyi ideologi yang membentuk makna tanda
tersebut.
Umberto Eco
Stephen W. Littlejohn (1996) menyebut Umberto Eco sebagai
ahli semiotikan yang menghasilkan salah satu teori mengenai tanda yang paling
komprehensif dan kontemporer. Menurut Littlejohn, teori Eco penting karena ia
mengintegrasikan teori-teori semiotika sebelumnya dan membawa semiotika secara
lebih mendalam (Sobur, 2006).
Eco
menganggap tugas ahli semiotika bagaikan menjelajahi hutan, dan ingin
memusatkan perhatian pada modifikasi sistem tanda. Eco kemudian mengubah konsep
tanda menjadi konsep fungsi tanda. Eco menyimbulkan bahwa “satu tanda bukanlah
entitas semiotik yang dapat ditawar, melainkan suatu tempat pertemuan bagi
unsur-unsur independen (yang berasal dari dua sistem berbeda dari dua tingkat
yang berbeda yakni ungkapan dan isi, dan bertemu atas dasar hubungan
pengkodean”. Eco menggunakan “kode-s” untuk menunjukkan kode yang dipakai
sesuai struktur bahasa. Tanpa kode, tanda-tanda suara atau grafis tidak
memiliki arti apapun, dan dalam pengertian yang paling radikal tidak berfungsi
secara linguistik. Kode-s bisa bersifat “denotatif” (bila suatu pernyataan bisa
dipahami secara harfiah), atau “konotatif” (bila tampak kode lain dalam
pernyataan yang sama). Penggunaan istilah ini hampir serupa dengan karya
Saussure, namun Eco ingin memperkenalkan pemahaman tentang suatu kode-s yang
lebih bersifat dinamis daripada yang ditemukan dalam teori Saussure, di samping
itu sangat terkait dengan teori linguistik masa kini.
Ogden & Richard
Teori Semiotika C. K. Ogden dan I. A. Richard merupakan
teori semiotika trikotomi yang dikembangkan dari Teori Saussure dan Teori
Barthes yang didalamnya terdapat perkembangan hubungan antara Petanda
(signified) dengan Penanda (signifier) dimana Penanda kemudian dibagi menjadi
dua yaitu Peranti (Actual Function/Object Properties) dan Penanda (signifier)
itu sendiri. Petanda merupakan Konotasi dari Penanda, sedangkan Peranti
merupakan Denotasi dari Penanda. Pada teori ini Petanda merupakan makna,
konsep, gagasan, sedang Penanda merupakan gambaran yang menjelaskan peranti,
penjelasan fisik obyek benda, kondisi obyek/benda, dan cenderung (tetapi tidak
selalu) berupa ciri-ciri bentuk, ruang, permukaan dan volume yang memiliki
suprasegmen tertentu (irama, warna, tekstur, dsb) dan Peranti merupakan wujud
obyek/benda/fungsi aktual (Christian).
Semiotika Teks
Pengertian teks secara sederhana adalah “kombinasi
tanda-tanda” (Piliang, 2003). Dalam pemahaman yang sama, semua produk desain
(termasuk arsitektur dan interior) dapat dianggap sebagai sebuah teks, karena
produk desain tersebut merupakan kombinasi elemen tanda-tanda dengan kode dan
aturan tertentu, sehingga menghasilkan sebuah ekspresi bermakna dan berfungsi
(Yusita Kusumarini,2006). Dalam menganalisis dengan metode semiotika, pada
prinsipnya dilakukan dalam dua tingkatan analisis, yaitu :
Analisis tanda secara individual (jenis tanda, mekanisme atau struktur tanda),
dan makna tanda secara individual.§Analisis tanda sebagai sebuah kelompok atau kombinasi
(kumpulan tanda yang membentuk teks), biasa disebut analisis teks.§Untuk menganalisis tanda secara
individual dapat digunakan model analisis tipologi tanda, struktur tanda, dan
makna tanda (Piliang, 2003). Analisis tipologi tanda tersebut menggunakan teori
semiotik pengelompokan tanda Charles Sanders Peirce. Sedangkan dalam hal
analisis struktur tanda menggunakan teori semiotik Ferdinand de Saussure.
Kemudian dalam menganalisis makna tanda dapat dilakukan dengan menggabungkan
hasil analisis tipologi tanda dan struktur tanda. Gabungan analisis keduanya
(tipologi tanda dan struktur tanda) akan menghasilkan makna tanda yang lebih
kuat (Yusita Kusumarini,2006).
Untuk menganalisis tanda secara kelompok atau kombinasinya (analisis teks),
tidak hanya sebatas menganalisis tanda (jenis, struktur, dan makna) tetapi juga
termasuk pemilihan tanda yang dikombinasi dalam kelompok atau pola yang lebih
besar (teks) yang mengandung representasi sikap, ideologi, atau mitos tertentu
(latar belakang kombinasi tanda). Ada beberapa model dan prinsip analisis teks,
salah satunya yang diajukan oleh Thwaites (Piliang, 2003). Prinsip dasar
analisis teks adalah polisemi (keanekaragaman makna sebuah penanda). Konotasi
tanda berkaitan dengan kode nilai, makna sosial, dan berbagai perasaan, sikap,
atau emosi. Tiap teks adalah kombinasi sintagmatik tanda-tanda yang melalui
kode sosial tertentu menghasilkan konotasi tertentu (metafora dan metonimi
menjadi bagian dari kombinasi tanda). Konotasi yang berbeda bergantung pada
posisi sosial pembaca dan faktor lain yang mempengaruhi cara berpikir dan
menafsirkan teks. Konotasi yang diterima luas secara sosial akan menjadi
denotasi (makna teks yang dianggap benar). Denotasi merepresentasikan mitos
budaya, kepercayaan, dan sikap yang dianggap
BIDANG TERAPAN SEMIOTIK
Pada prinsipnya jumlah bidang
terapan semiotika tidaklah terbatas. Bidang semiotika ini sendiri bisa berupa
proses komunikatif yang tampak lebih alamiah dan spontan hingga pada sistem
budaya yang lebih kompleks.19 bidang yang bisa dipertimbangkan sebagai bahan
kajian ilmiah Semiotika menurut Eco (1979:9-14), antara lain :
1. Semiotika binatang (zoomsemiotic)
2. Tanda – tanda bauan (olfactory
signs)
3. Komunikasi rabaan (tactile
communication)
4. Kode – kode cecapan (code of
taste)
5. Paralinguistik (paralinguistics)
6. Semiotika medis (medical
semiotics)
7. Kinesik dan proksemik (kinesics
and proxemics)
8. Kode – kode musik (musical codes)
9. Bahasa – bahasa yang diformalkan
(formalized languages)
10. Bahasa
tertulis, alfabet tidak dikenal, kode rahasia (written languages, unknown
alphabets, secret codes)
11. Bahasa alam (natural languages)
12. Komunikasi visual (visual
communication)
13. Sistem objek (system of objects)
14. Struktur alur (plot structure)
15. Teori teks (text theory)1
16. Kode – kode budaya (culture
codes)
17. Teks estetik (aesthetic texts)
18. Komunikasi Massa (mass
comunication)
19. Retorika (rhetoric)
Pada komunikasi, bidang terapan
semiotika pun tidak terbatas. Adapun beberapa contoh aplikasi semiotika di
antara sekian banyak pilihan kajian semiotika dalam domain komunikasi antara
lain :
1. MEDIA
Mempelajari media adalah adalah
mempelajari makna dari mana asalnya, seperti apa, seberapa jauh tujuannya,
bagaimanakah ia memasuki materi media, dan bagaimana ia berkaitan dengan pemikiran
kita sendiri.Dalam konteks media massa, khusunya media cetak kajian semiotika
adalah mengusut ideologi yang melatari pemberitaan.
Untuk teknik – teknik analisnya sendiri, secara garis besar
yang diterapkan adalah :
1. Teknik kuantitatif
Teknik ini adalah teknik yang paling
dapat mengatasi kekurangan dalam objektivitas, namun hasilnya sering kurang
mantap. Ciri – ciri yang dapat di ukur dinyatakan sebagai tanda merupakan titik
tolak penelitian ini.Menurut Van Zoest, 19993:146-147), hasil analisis kuantitatif
selalu lebih spektakuler namun sekaligus selalu mengorbankan ketahanan uji
metode – metode yang digunakan.
2. Teknik kualitatif
Pada analisis kualitatif, data –
data yang diteliti tidak dapat diukur secara matematis. Analisis ini sering
menyerang masalah yang berkaitan dengan arti atau arti tambahan dari istilah
yang digunakan.
Tiga pendekatan untuk menjelaskan media (McNair, 1994, dalam
Sudibyo, 2001:2-4)
1. Pendekatan Politik-Ekonomi
Pendekatan ini berpendapat bahwa isi
media lebih ditentukan oleh kekuatan – kekuatan ekonomi dan politik di luar
pengelolaan media.
2. Pendekatan Organisasi
Bertolak belakang dengan pendekatan
politik-ekonomi, pendekatan ini menekankan bahwa isi media diasumsikan
dipengaruhi oleh kekuatan – kekuatan eksternal di luar diri pengelola media.
3. Pendekatan Kulturalis
Merupakan pendekatan politik-ekonomi
dan pendekatan organisasi. Proses produksi berita dilihat sebagai mekanisme
yang rumit yang melibatkan faktor internal media. Media pada dasarnya memang
mempunyai mekanisme untuk menentukan pola dan aturan oragnisasi, tapi berbagai
pola yang dipakai untuk memaknai peristiwa tersebut tidak dapat dilepaskan dari
kekuatan – kekuatan politik-ekonomi di luar media.Secara teoritis, media massa
bertujuan menyampaikan informasi dengan benar secara efektif dan efisien.
Namun, pada praktiknya apa yang disebut sebagai kebenaran ini sangat ditentukan
oleh jalinan banyak kepentingan.
Terdapat pemilahan atas fakta atau
informasi yang dianggap penting dan yang dianggap tidak penting, serta yang
dianggap penting namun demi kepentingan survival menjadi tidak perlu disebar
luaskan. Media menyunting bahkan menggunting realitas dan kemudian memolesnya
menjadi suatu kemasan yang layak disebar luaskan.
Tiga zona dalam teori media menurut Berger dan Luckman
:
1. Orders and practices of signification = Tatanan dan praktik
– praktik signifikasi.
2. Orders and practises of power = Tatanan dan praktik –
praktik kekuasaan.
3. Orders and practises of production = Tatanan dan praktik –
praktik produksi.
Praktik – praktik kekuasaan media memiliki banyak bentuk (
John B. Thomson, 1994) antara lain:
· Kekuasaan Ekonomi —— dilembagakan dalam industri dan
perdagangan.
· Kekuasaan Politik ——— dilembagakan dalam aparatur negara
· Kekuasaan Koersif ——– dilembagakan dalam organisasi militer
dan paramiliter.
2. Periklanan
Dalam perspektif semiotika iklan
dikaji lewat sistem tanda dalam iklan, yang terdiri atas 2 lambang yakni
lambang verbal (bahasa) dan lambang non verbal (bentuk dan warna yang disajikan
dalam iklan).Dalam menganalisis iklan, beberapa hal yang perlu diperhatikan
antara lain (Berger) :
· Penanda dan petanda
· Gambar, indeks, simbol
· Fenomena sosiologi
· Sifat daya tarik yang dibuat untuk menjual produk
· Desain dari iklan
· Publikasi yang ditemukan dalam iklan dan khayalan yang
diharapkan oleh publikasi tersebut.
Lain halnya dengan model Roland
Barthes, iklan dianalisis berdasarkan pesan yang dikandungnya yaitu :
o Pesan Linguistik ————————– Semua kata dan kalimat dalam
iklan
o Pesan yang terkodekan —————— Konotasi yang muncul dalam foto
iklan
o Pesan ikonik yang tak terkodekan —– Denotasi dalam foto
iklan
3. Tanda NonVerbal
Komunikasi nonverbal adalah semua
tanda yang bukan kata – kata dan bahasa.
Tanda – tanda digolongkan dalam berbagai cara :
· Tanda yang ditimbulkan oleh alam yang kemudian diketahui
manusia melalui pengalamannya.
· Tanda yang ditimbulkan oleh binatang
· Tanda yang ditimbulkan oleh manusia, bersifat verbal dan
nonverbal.
Namun tidak keseluruhan tanda –
tanda nonverbal memiliki makna yang universal. Hal ini dikarenakan tanda –
tanda nonverbal memiliki arti yang berbeda bagi setiap budaya yang lain.Dalam
hal pengaplikasian semiotika pada tanda nonverbal, yang penting untuk
diperhatikan adalah pemahaman tentang bidang nonverbal yang berkaitan dengan
benda konkret, nyata, dan dapat dibuktikan melalui indera manusia.
Pada dasarnya, aplikasi atau
penerapan semiotika pada tanda nonverbal bertujuan untuk mencari dan menemukan
makna yang terdapat pada benda – benda atau sesuatu yang bersifat nonverbal.
Dalam pencarian makna tersebut, menurut Budianto, ada beberapa hal atau
beberapa langkah yang perlu diperhatikan peneliti, antara lain :
· Langkah Pertama ——- Melakukan survai lapangan untuk mencari
dan menemukan objek penelitian yang sesuai dengan keinginan si peneliti.
· Langkah Kedua ———- Melakukan pertimbangan terminologis
terhadap konsep –konsep pada tanda nonverbal.
· Langkah Ketiga ———- Memperhatikan perilaku nonverbal, tanda
dan komunikasi terhadap objek yang ditelitinya.
· Langkah Keempat —– Merupakan langkah terpenting —–
menentukan model semiotika yang dipilih untuk digunakan dalam penelitian.
Tujuan digunakannya model tertentu adalah pembenaran secara metodologis agar
keabsahan atau objektivitas penelitian tersebut dapat terjaga.
4. Film
Film merupakan bidang kajian yang amat relevan bagi analisis
struktural atau semiotika.
Van Zoest—– film dibangun dengan tanda semata
– mata. Pada film digunakan tanda – tanda ikonis, yakni tanda – tanda yang
menggambarkan sesuatu. Gambar yang dinamis dalam film merupakan ikonis bagi
realitas yang dinotasikannya.Film umumnya dibangun dengan banyak tanda. Yang
paling penting dalam film adalah gambar and suara. Film menuturkan ceritanya
dengan cara khususnya sendiri yakni, mediumnya, cara pembuatannya dengan kamera
dan pertunjukannya dengan proyektor dan layar.
Sardar & Loon ——– Film dan televisi memiliki
bahasanya sendiri dengan sintaksis dan tata bahasa yang berbeda. Film pada
dasarnya bisa melibatkan bentuk – bentuk simbol visual dan linguistik untuk
mengkodekan pesan yang sedang disampaikan.Figur utama dalam pemikiran semiotika
sinematografi hingga sekarang adalah Christian Metz dari Ecole des Hautes
Etudes et Sciences Sociales (EHESS) Paris. Menurutnya, penanda (signifant)
sinematografis memiliki hubungan motivasi atau beralasan dengan penanda yang
tampak jelas melalui hubungan penanda dengan alam yang dirujuk. Penanda
sinematografis selalu kurang lebih beralasan dan tidak pernah semena.
5. Komik Kartun Karikatur
Sebelum memasuki pembahasan, terlebih
dahulu kita ketahui apa yang dimaksud dengan komik, kartun, serta
karikatur.Komik adalah cerita bergambar dalam majalah, surat kabar, atau
berbentuk buku yang pada umumnya mudah dicerna dan lucu. Komik sendiri
dikelompokkan menjadi dua jenis yaitu, comic strips dan comic book. Komik
bertujuan utama menghibur pembaca dengan bacaan ringan, cerita rekaan yang
dilukiskan relatif panjang dan tidak selamanya mengangkat masalah hangat
meskipun menyampaikan moral tertentu. Bahasa komik adalah bahasa gambar dan
bahasa teks.
Kartun adalah sebuah gambar lelucon
yang muncul di media massa, yang hanya berisikan humor semata, tanpa membawa
beban kritik sosial apapun. Pada dasarnya, kartun mengungkapkan masalah sesaat
secara ringkas namun tajam dan humoristis sehingga tidak jarang membuat pembaca
senyum sendirian.
Karikatur adalah deformasi
berlebihan atas wajah seseorang, biasanya orang terkenal, dengan
mempercantiknya dengan penggambaran ciri khas lahiriyahnya untuk tujuan
mengejek (Sudarta,1987). Empat teknis yang harus diingat sebagai karikatur
adalah, harus informatif dan komunikatif, harus situasional dengan pengungkapan
yang hangat, cukup memuat kandungan humor, harus mempunyai gambar yang baik.
Semula karikatur hanya merupakan selingan atau ilustrasi belaka. Namun pada
perkembangannya, karikatur dijadikan sarana untuk menyampaikan kritik yang
sehat karena penyampaiannya dilakukan dengan gambar – gambar lucu dan menarik
bahkan tidak jarang membuat orang yang dikritik justru tersenyum.
Tommy Christomy ——— Secara formal proses semiosis
yang paling dominan dalam kartun adalah gabungan atau proposisi (visual dan
verbal) yang dibentuk oleh kombinasi tanda argumen indexical legisign.Untuk
menganalisis kartun atau komik-kartun, seyogyanya kita menempatkan diri sebagai
kritikus agar secara leluasa dapat melakukan penilaian dan memberi tafsiran
terhadap komik-kartun tersebut.
Setiawan —— Komik-kartun penuh dengan
perlambangan – perlambangan yang kaya akan makna. Selain dikaji sebagai teks,
secara kontekstual juga dilakukan yakni dengan menghubungkan karya seni
tersebut dengan situasi yang sedang menonjol di masyarakat. Dalam pandangan
Setiawan hal ini di maksudkan untuk menjaga signifikasi permasalahan dan
sekaligus menghindari pembiasan tafsiran
6. Sastra
Santosa —— Dalam lapangan sastra, karya
sastra dengan keutuhannya secara semiotik dapat dipandang sebagai sebuah tanda.
Sebagai suatu bentuk, karya sastra secara tulis akan memiliki sifat kerungan.
Dimensi ruang dan waktu dalam sebuah cerita rekaan mengandung tabiat
tanda-menanda yang menyiratkan makna semiotika.
Aminudin —— Wawasan semiotika dalam studi
sastra memiliki tiga asumsi :
· Karya sastra merupakan gejala komunikasi yang berkaitan
dengan pengarang, wujud sastra sebagai sistem tanda, dan pembaca.
· Karya sastra merupakan salah satu bentuk pengunaan sistem
tanda (system of signs) yang memiliki struktur dalam tata tingkat tertentu.
· Karya sastra merupakan fakta yang harus direkonstruksikan
pembaca sejalan dengan dunia pengalaman dan pengetahuan yang dimilikinya.
Sasaran kajian sastra secara ilmiah
bukan pada wujud konkret wacananya, melainkan pada metadiscourse atau bentuk
dan ciri kewacanaan yang tidak teramati secara konkret
Junus —– Pradopo —- Penelitian
sastra dengan pendekatan semiotika sesungguhnya merupakan lanjutan dari
pendekatan strukturalisme. Strukturalisme tidak dapat dipisahkan dengan
semiotika karena karya sastra merupakan struktur tanda – tanda yang bermakna.
Tanpa memperhatikan sistem tanda dan maknanya, serta konvensi tanda, struktur
karya sastra atau karya sastra tidak dapat dimengerti secara optimal.Dalam
penelitian sastra dengan menggunakan pendekatan semiotika, tanda yang berupa
indekslah yang paling banyak dicari, yaitu berupa tanda – tanda yang
menunjukkan hubungan sebab-akibat.
Preminger Studi semiotika sastra adalah usaha
untuk menganalisis sistem tanda – tanda. Oleh karena itu, peneliti harus
menentukan konvensi – konvensi apa yang memungkinkan karya sastra mempunyai
makna.
7. Musik
Sistem tanda musik adalah oditif. Bagi semiotikus musik,
adanya tanda – tanda perantara, yakni, musik yang dicatat dalam partitur
orkestra, merupakan jalan keluar. Hal ini sangat memudahkan dalam menganalisis
karya musik sebagai teks. Itulah sebabnya mengapa penelitian musik semula
terutama terarah pada sintaksis. Meski demikian, semiotika tidak dapat hidup
hanya dengan mengandalkan sintaksis karena tidak ada semiotika tanpa semantik
juga tidak ada semiotika musik tanpa semantik musik.
Aart van Zoest —– Tiga kemungkinan dalam mencari denotatum musik ke arah
isi tanggapan dan perasaan :
· Untuk menganggap unsur – unsur struktur musik sebagai ikonis
bagi gejala – gejala neurofisiologis pendengar,
· Untuk menganggap gejala – gejala struktural dalam musik
sebagai ikonis bagi gejala – gejala struktural dunia penghayatan yang dikenal.
· Untuk mencari denotatum musik ke arah isi tanggapan dan
perasaan yang dimunculkan musik lewat indeksial.
Untuk menganalisi musik tentu juga
diperlukan disiplin lain, misalnya ethnomusicology dan antropologi. Dalam
ethnomusicology, musik dipelajari melalui aturan tertentu yang dihubungkan
dengan bentuk kesenian lainnya termasuk bahasa, agama, dan falsafah.
Penutupan
Kesimpulannya
adalah Semiotika merupakan istilah yang berasal dari kata Yunani semeion
yang berarti ‘tanda’ atau sign dalam bahasa Inggris itu adalah ‘ilmu
yang mempelajari sistem tanda ‘ seperti: bahasa, kode, sinyal, dan sebagainya.
Tanda-tanda
adalah basis dari seluruh komunikasi (littlejhon:1996). Manusia dengan
perantaraan tanda-tanda, dapat melakukan komunikasi dengan sesamanya. Banyak
hal bisa dikomunikasikan di dunia ini.
Mungkin
hanya itu saja yang bisa penulis simpulkan dan informasikan. Kurang lebihnya
kami mohon maaf, kami bukanlah apa – apa dibanding dengan pembaca semua. Jika,
ada penulisan yang salah kami selaku penulis mengucap permohonan maaf. Semoga
apa yang kami tulis ini menjadi manfaat bagi semua.
Penulis