SEJARAH PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN
KRITIK SASTRA BARAT
A.
SEJARAH PERTUMBUHAN KRITIK SASTRA
1.
KRITIK SASTRA DI YUNANI
Sejarah munculnya istilah ‘kritik
sastra’ (dunia/Barat)) awal pertama kalinya dipelopori oleh tiga orang tokoh
besar asal negeri Yunani. Ketiga tokoh besar tersebut antara lain adalah Plato,
Aristoteles, dan Longinus.
a.
Kritik Sastra Plato (427—347 SM)
Plato adalah salah satu tokoh atau orang
pertama yang memperkenalkan istilah kritik sastra di dalam kaitannya dengan
ilmu sastra. Berbekal dari ilmu filsafat yang banyak ia pelajari dari gurunya
Sokrates (465—399 SM), sekitar tahun 387 ia mendirikan sekolah tinggi yang
terkenal di Atena. Sekolah tinggi itu diberi nama Akademi. Di sekolah
tinggi itulah Plato mulai mengajar dan mengembangkan kritik sastra. Salah satu
karya bukunya yang terkenal adalah buku yang berjudul “Republik”, buku yang
membahas tentang pandangan pembaca (kritik) tentang karya sastra puisi. Di
dalam kaitannya dengan istilah kritik sastra, pandangan atau konsep yang
disuguhkan Plato adalah pandangan atau konsep tentang ilmu mimetik (tiruan)
yang menghendaki agar karya sastra (puisi) dapat berisikan ajaran-ajaran moral
(bermanfaat; dulce).
Konsep Mimetik (tiruan) Plato:
Seniman (sastrawan) tidak akan mampu
meniru realita, karena realita yang ditiru oleh seniman (sastrawan) hanyalah
realita berdasarkan persepsi seniman (kepentingan tentang kepercayaan,
ideology, dan lain-lain). Akan tetapi, bukanlah realita dalam arti yang
sebenarnya—[oleh karena itu karya seni adalah palsu, tidak bermanfaat, dan
dapat menjerumuskan pembaca/penikmat seni].
Pandangan
Plato—[Tentang Gaya Bahasa]—Kritik Sastra
Pandangan Plato bisa
terlihat pada pernyataan Ignas Kliden, seorang budayawan dan sosiolog Indonesia dalam
ulasannya di Film Dokumenter sastrawan Indonesia Umar Kayam. Ignas Kleden menyatakan
bahwa di dalam
penulisan karya sastra, kita (sebagai
pembaca karya sastra) bisa melihat tiga hal di dalam
karya sastra: Apakah pengarang yang bercerita? Apakah cerita yang
bercerita? Atau apakah suasana yang
bercerita? (lihat dokumenter Umar Kayam: Refleksi
Kehidupan, 2004).
b.
Kritik Sastra Aristoteles (384—322 SM)
Tokoh pengembangan kritik sastra adalah Aristoteles
yang juga berasal dari Yunani. Aristoteles adalah salah seorang murid yang
membantah sekaligus mengembangkan konsep/pandangan gurunya sendiri, Plato.
Konsep Mimetik (tiruan) Aristoteles:
Seniman (sastrawan) memang tidak perlu
meniru realita sebagaimana adanya—seniman (satrawan) meniru realita berdasarkan
persepsi seniman sendiri, dan hebatnya karya seni (KS) yang diciptakan oleh
seniman (satrawan) ditentukan oleh unsur (1) creatio (kreativitas dalam
menciptakan fiksionalitas), dan (2) universalia (hal-hal yang universal/umum)—[yang
member harapan baru—[memunyai efek bagi pembaca/penikmat seni].
Pandangan atau konsep tentang kritik
sastra Aristoteles terangkum dalam buku karangannya yang berjudul “Ilmu
Poetika”. Di dalam buku“Ilmu Poetika” itulah Aristoteles mengembangkan kajian
teori mimetiknya menjadi beberapa pokok pembahasan, antara lain sebagai
berikut.
1.
Teori
Puisi
Ø Dalam kaitannya
dengan kritik, Aristoteles meninjau sebuah karya sastra (puisi) dari sudut
hubungan puisi dengan manusia, misalnya tentang asal usul puisi. Pandangan
konsep Aristoteles menyatakan bahwa sebuah karya sastra (puisi) terbentuk atau
tercipta dari pembawaan lahir manusia (penulisnya sendiri). Dalam hal ini
Aristoteles memunyai pemaknaan bahwa manusia senang meniru dan senang akan
tiruan yang dilakukan oleh orang lain pula (pembawaan dari batin).
Ø Aristoteles
menyetujui pendapat Plato bahwa puisi tercipta berdasarkan tiruan (imitation).
Akan tetapi, ia member arti yang baru terhadap istilah tiruan tersebut.
Baginya, tiruan sudah bukan menjadi sebuah jiplakan lagi, melainkan tiruan
adalah suatu penciptaan kreatif. Artinya, pengarang (sastrawan) meniru dengan
mengambil ide dari fenomena kehidupan manusia dan menciptakannya menjadi sebuah
sesuatu yang baru (karya).
Ø Di dalam
kaitannya dengan istilah kritik sastra, pandangan atau konsep yang disuguhkan
Aristoteles adalah pandangan atau konsep tentang ilmu mimetik (tiruan) yang
menghendaki agar karya sastra (puisi) yang tercipta (melalui penciptaan
kreatif) memunyai fungsi utama, yakni member kesenangan untuk pembacanya (sesudah
membaca kita menjadi merasa senang; utile).
2.
Teori
Tragedi—[drama]—meniru dengan perbuatan (dipentaskan; mimetik)
3.
Teori
Epos—meniru dengan penceritaan (narasi; mimetik)
4.
Teori
Komedi—meniru dengan lelucon—[menjadi gila].
c.
Kritik Sastra Dionysius Cassius Longinus (210—273 M)
Ø Kritik sastra
terangkum dalam sebuah karya tulisnya (tesis) yang berjudul “Tentang
Keagungan”. “Tentang Keagungan” memunyai pemaknaan bahwa karya sastra yang
agung adalah karya sastra yang bisa memberikan perenungan, yang bisa menarik
perhatian kita tanpa kemauan kita, yang meninggalkan suatu kesan yang tak
terhapus dari sanubari kita sendiri. Artinya, sebuah karya sastra yang agung
(bagus) adalah karya sastra yang bisa menyenangkan manusia sepanjang abad
(abadi; kanon).
Ø Dari konsep atau
pandangan kecil itulah Longinus memaknai (menilai) sebuah karya sastra dari
sudut pandang estetika (keindahan). Baginya, disamping karya sastra harus
bermanfaat (dulce) dan memberi kesenangan (utile), penciptaan karya sastra
harus bisa menimbulkan katarsis (perenungan, pembersihan, suci,
dan bermanfaat).
Ø Catatan: Longinus adalah
kritikus yang mempelopori kritik STILISTIKA dan memperkenalkan ILMU
ESTETIKA.
2.
Kritik Sastra di Romawi
Ada dua tokoh
yang menjadi catatan sejarah dan perkembangan kritik sastra di Romawi, antara
lain sebagai berikut.
a.
Quintus
Horatius Placcus (65-8 SM)
Horatius adalah salah murid yang juga
belajar di sekolah tinggi di Atena. Horatius tercatat sebagai seorang sastrawan
yang banyak menghasilkan karya sastra yang berupa sajak-sajak remaja. Dari
beberapa karyanya itulah Horatius menulis “Ilmu Poetika” (10-8).
“Ilmu Poetika” (De Arte Poetica”—[adalah
surat-surat yang berbentuk puisi)
Sebuah Pernyataan Horatius:
Ø Sumber dari
karangan yang bagus adalah pemikiran yang betul. Pemikiran yang betul
adalah kebijaksanaan. Artinya, pengarang harus tahu bagaimana seharusnya
ia memilih tema serta gaya bahasa yang cocok (susuai)
Ø (Puisi = lukisan dipertaruhkan oleh jarak (waktu).
Artinya, kita bisa mengasumsikan
lukisan yang kita lihat jelek dari titik atau jarak pandang yang dekat karena
lukisan yang kita lihat sangat terlihat bagus dari jarak pandang jauh. Atau
mungkin malah sebaliknya, kita bisa mengasumsikan lukisan itu tampak lebih bagus
(indah) dari jarak yang dekat.
Ø Horatius lebih
menekankan pada kritik sastra yang mengacu pada penilaian aspek estetika
stilistika terhadap karya sastra.
Pengaruh Horatius:
Pengaruh Horatius baru terlihat tampak
pada perkembangan kritik sastra pada abad Renaissance. Bukti pengaruhnya adalah
bahwa selera pembaca (kritikus) merupakan sebuah pertimbangan sastra yang
dianggap paling penting (Mutiara-mutiara kata yang banyak diucapkan).
b.
Marcus Fabius Quintilanus (40-118 M)
Quintilanus dilahirkan di Calagurris
Spanyol. Pendidikan hukum diperolehnya di Negara Roma. Sebuah karya tulisnya
yang tercipta adalah “Pembinaan Ahli Pidato” (Institute Oratoria) yang ditulis
dengan harapan agar bisa memberikan bimbingan bagi calon-calon ahli pidato
(ber-retorika). “Pembinaan Ahli Pidato” adalah bukunya yang banyak berisi kebijaksanaan
(retorik) yang diciptakannya sendiri.
Ø Di dalam sejarah
dan pertumbuhan kritik sastra Barat, ajaran Quintilanus lebih menekankan pada
aspek penciptaan sendiri (framing) dan penciptaan yang kreatif (bukan sebuah
wujud dari tiruan atau imitation).
Ø Sejarah dan awal
pertumbuhan kritik sastra Quintilanus dimulai dari sebuah telaah bahasa
(stilistika) tentang penggunaan retorika bahasa.
B.
PERKEMBANGAN KRITIK SASTRA
1.
Kritik Sastra Abad Pertengahan (Abad 12—13)
Kritik sastra
pada abad pertengahan pada dasarnya berkembang pada dua paruh waktu, antara
lain
A.
PARUH PERTAMA
Ø Perkembangan
kritik sastra pada adab petengahan pada mulanya ditandai dengan adanya
kekacauan politik yang disebabkan oleh runtuhnya kerajaan Romawi—yang
pelahan-lahan akan pulih kembali.
Ø Muncul dua
paham/ajaran
a.
Ajaran
Neo-Platonisme—‘chita’ (ide)
b.
Ajaran
nasrani
Ø Tokoh atau
pelopor Neo-Platonisme adalah Plotinus (204-207 M)—[seorang filusuf dari
Mesir].
Perkembangan kritik sastra ditandai
dengan pengembangan ulang teori ‘chita’ (ide) yang sebelumnya diciptakan oleh
Plato—[Tuhan dan ‘chita’ adalah dua hal yang terpisah].
Ø Tokoh atau
pelopor ajaran Nasrani ada dua, yaitu:
a.
St.
Fransiskus (1182-1226)—simpati terhadap dan menyebut matahari “Saudara Surya”
b.
St.
Aquinus (1227-1274)—tiruan adalah sebuah bentuk estetika Tuhan dan sebuah wujud
dari retorika.
B.
PARUH KEDUA
Ø Ditandai dengan
munculnya pergolakan dalam politik, agama, dan budaya (Perancis; Abad 12)
Ø Perkembangan kritik sastra ditandai dengan
munculnya penemuan-penemuan naskah klasik Aristoteles (Akhir Abad 13)—penemuan
menyebar di daerah Arab, Spanyol, Inggris, Itali.
*Efek: memelajari dan
mengembangkan ilmu Aristoteles lagi.
Ø Aristoteles
menjadi sumber yang penting pada paruh abad pertengahan karena dari
pengembangan teorinya maka muncullah kemudian istilah istilah ilmu baru,
antara lain: Estetika, Metafisika, Ilmu Pengetahuan Alam, Astronomi, Ilmu
Bahasa, dan lain-lain.
Ø Ada dua tokoh
yang memelopori perkembangan kritik sastra abad prtengan paruh kedua, yaitu
a.
Italia: Alighieri Dante (1265-1321)—[ajaran
menyuruh menulis dengan menggunakan bahasa sendiri]
b.
Paris: Ricard de Bury (1287-1345)—[mendapat
ilham konsepsi dari buku konsep atau pandangan bukunya Aristoteles—“kesenangan
sebagai perbuatan”, bahwa pada dasarnya sastra memunyai fungsi dulce et
utile.
Ø Simpulan: Konsep cara
pandang kritik sastra abad Pertengahan tidak terlepas dari konsep atau
pandangan yang sudah ada pada abad permulaan.
2.
Kritik Sastra Renaissance (Pertengahan—Modern)—[di
Italia, Perancis, & Inggris]
Ø Kritik
berkembang pada abad 16
Ø Kritik sastra
renaissance merupakan kritik yang cenderung menekankan pada penilaian sastra
dengan ‘akal budi’ dan kecintaan akan keindahannya (karya sastra).
Ø Idea pembaca
(kritikus)—[abad pertengahan]—menyatakan pandangan terhadap karya sastra
(puisi): puisi berhubungan erat dengan logika dan retorika yang
harus bisa bermanfaat kepada pembacanya.
Ø Idea pembaca
(kritikus)—[Modern]—menguraikan karya sastra (puisi): struktur, isi
(makna), pengaruh puisi terhadap pembaca melalui pandangan ‘estetika’. Dengan
demikian, muncullah KRITIK SASTRA MODERN.
Ø Simpulan: KRITIK
SASTRA KLASIK menuju KRITIK SASTRA MODERN bahwasannya KRITIK SASTRA KLASIK
memunyai peranan kritik sastra yang bersifat memberi PENERAPAN atau
PENGHAKIMAN. Sedangkan, KRITIK SASTRA RENAISSANCE bersifat memberikan
PENGAJARAN terhadap asas-asas tertentu (di dalam karya sastra).
3.
Kritik Sastra Abad 17 (Perancis dan Inggris)
a.
Perancis
Ø Kritik tidak
terlepas dari ilmu atau pemikiran Plato [tiruan/mimetik]
Ø Aliran kritik
sastra dimaknai dengan istilah “Neo-klassisma”, yaitu tiruan yang harus
disertai dengan akal budi (reason) dan pikiran yang sehat (good sense)
Ø Neo-klassisma
menekankan pada aspek “kebebasan” gaya bahasa dalam “penciptaan karya sastra”
Ø Tokoh terpenting
Neo-klassisma adalah Boileau (1639-1711)
Ø Lihat hlm.
64—[hakikat kritik sastra Boileau]: “bahwa studi tentang manusia haruslah
berpusat pada manusia sendiri—manusia pada umumnya, dan bukan perorangan
Ø Kritik sastra
Boileau menekankan pada aspek realistic studi—[semakin kita mendekat (memasuki
isi pikiran KS) maka akan semakin benar, semakin tepat, semakin wajar, dan
semakin tampak keindahannya (hasilnya; kritikus).
Ø Kritik Sastra
menekankan pada Exspressive Criticism—stilistika pengarang&stilistika
pembaca.
b.
Inggris
Ø Kritik sastra
Inggris pada abad 17 menunjukkan aliran yang beraneka ragam.
Catatan: Cara pandang
pembaca KS (kritikus)—[adalah “kebebasan”], tidak mengacu pada aturan atau
kaidah dan teori.
Dua tokoh sentral: (1) Sir Francis
Bacon (1561-1679), dan (2) Thomas Hobbes (1588-1679).
Ø Kritik sastra
Inggris—[Aplied Criticims]
4.
Kritik Sastra Pra-Romantisme (Abad 18)
a.
Perancis
Ø Munculnya kritik
sastra abad 18 karena efek dari abad 17, yakni permasalahan “puisi yang tidak
ada kemajuan”, karena ditekan oleh rasionalisme.
Ø Baru, memasuki
abad 19 semangat puisi menjadi hidup kembali—[memunculkan suatu pergerakan yang
maha dahsyat dalam Revolusi Perancis dan Pergerakan Romantisme dunia sastra.
Ø Tokoh yang
berperan dalam perkembangan kritik sastra Pra-Renaissance adalah:
1.
Voltaire
(1694-1778)
-
Peran
Kritik: Memperkenalkan nama Shakespeare kepada orang-orang Perancis (melalui
kajian karya sastra dramanya).
-
Lihat
hlm. 71. …“selera sastra, menurutnya adalah persoalan perseorangan. Kita tidak
boleh memaksakan selera kita atas orang lain.
2.
Denis
Dider (1713-1784)
Peran Kritik: Gagasan melalui teori
dramanya yang diciptakannya.
Lihat hlm. 72. …panggung harus sedapat
mungkin mendekati “kenyataannya”, percakapan-percakapan panjang harus
dibuang-buang jauh, latar belakang panggung harus juga mendekati realita
kehidupan, pelakon sebaiknya memakai nada yang wajar dalam deklamasi,…dst.
Ø Kritik Sastra
Perancis—[Impressionistic Criticism]
b.
Inggris
Ø Abad 18
disebut-sebut sebagai kritik zaman ‘akal budi’
Ø Kritikus pada
abad 18 digolongkan ke dalam tiga golongan, yaitu:
1.
Golongan
penganut akal budi
2.
Golongan
selera
3.
Golongan
Pemberontak-pemberontak yang melawan kekuasaan akal budi
Ø Ada tiga tokoh
yang berperan dalam perkembangan kritik sastra pra-renaissance, antara lain
1.
Samuel Johnson (1709-1784)
-
Percaya
pada imajinasi ‘puitis’ akan tetapi harus dikontrol dengan akal budi
(pengaruh?)
-
Lihat
pernyataan hlm. 73-76. Johnson adalah orang yang terkaya dalam pengalaman
kehidupan dan akal insaniah pada waktu itu. Ia pernah mengalami masa
kemelaratan yang pahit dan mengerti benar kehidupan rakyat jelata—[pengaruh
akal budi]—memunculkan teori neo-klasik: sastrawan haruslah pertama-tama
berusaha membesar-besarkan tabiat dan adat istiadat…dst.
2.
Sir Joshua Reynolds (1723-92)
-
Kritik
didasarkan pada imajinasi
Imajinasi sebaiknya disesuaikan dengan
dibatasi oleh pemikiran dan pengetahuan yang dalam dari perasaan.
3.
Edward Young (1683-1765)
-
Pandangan
tentang kritik ditendensikan pada penilaian karya sastra. Kemajuan sastra bisa
dicapai jika kita dapat membebaskan diri dari cengkeraman sastra dan
aturan-aturan mengembalikan ke-aku-an dan keaslian diri kita sendiri.
5.
Kritik Sastra Romantisme (Abad 18 Akhir—Awal Abad 19)
a.
Inggris
Tokoh-tokohnya:
1.
William
Wordsworth (1770-1850)—[menekankankan realism sosialis]
2.
Samuel
Tylor Coleridge (1772-1834)
3.
Percy
Bysshe Shelley (1792-1822)—[menekankan liberalis]
b.
Perancis
Tokoh-tokohnya:
1.
Madame
De Stael (1766-1817)
2.
Francois
Rane De Chateaubriand (1768-1848)
3.
Victor
Hugo (1802-1885)
c.
Jerman
Tokoh-tokohnya:
1.
Johann
Gottfried Herder (1744-1803)
2.
Johann
Wofgang von Goethe (1749-1832)
3.
Johann
Cristhop Friedirh von Schiller (1759-1805)
4.
August
Wilhelm Von Schlegel (1767-1845)
5.
Friedrich
Von Schlegel (1772-1829)
6.
Friedrich
Wilhelm Joseph von Schelling (1775-1854)
7.
Dll.
6.
Kritik Sastra Pasca-Romantisme (Pertengahan dan
Akhir Abad 19)
a.
Perancis
Tokoh-tohonya:
1.
Charles
Augustin Sainte-Beuve (1804-1869)
2.
Ernest
Renan (1823-92)
3.
Hippolyte
Taine (1828-1893)
4.
Ferdinand
Brunetiere (1849-1970)
b.
Inggris
1.Matthew
Arnold (1822-1888)
2.
Walter Horatio Pater (1839-1894)
3.
A.C Bradley (1851-1935)
7.
Kritik Sastra Dewasa Ini
a.
T.S
Elliot—paham ‘isme’, memunculkan bebrapa kritik sastra baru, antara lain
-
Realisme
-
Naturalisme
-
Simbolisme
-
Surrealisme
-
Existensialisme
-
Espressionisme
-
Imagisme
b.
Kritik
Sastra Ilmiah
c.
Kritik
Sastra Psikologis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komen mu adalah penilaian untuk ku...