Senin, 09 Januari 2012

Problematika Membaca Hikayat di SMA

Tugas Kelompok Bersama:
1. Atthyyatun Nikmah
2. Desy Mayaning Rahayu








Bab 1
Fenomena Membaca
Hikayat di SMA kelas Dua

Hikayat adalah bagian dari prosa lama. Prosa lama cenderung bersifat imajinatif, istanasentris, dedaktif, anonim, dan bentuk serta isinya statis. Sedangkan prosa baru bersifat realis, dinamis, dan tidak anonim. Karya yang termasuk prosa lama ialah dongeng, (prosa lama yang isinya semat-mata
berdasarkan khayalan dan disampaikan secara lisan), hikayat ( isinya mengenai kejadian- kejadian di lingkungan istana, tentang keluarga raja), silsilah atau tambo (semacam sejarah, akan tetapi isinya sudah dicampur aduk dengan khayal sehingga  banyak cerita yang tidak tercerna oleh pikiran sehat.

Contoh hikayat:
1. Hikayat Hang Tuah
2. Hikayat si Miskin
3. Hikayat Panca Tantra
4. Hikayat Panji Semirang
5. Hikayat Dalang Indra Kusuma
6. Hikayat Amir Hamzah
7. Hikayat Anggun Cik Tunggal

            Lembaga pendidikan formal jika mau dipetakan barangkali berkisar pada hal-hal berikut. Pertama Pembelajaran sastra terutama membaca Hikayat di lembaga pendidikan formal dari hari ke hari semakin sarat dengan berbagai persoalan. Tampaknya, pembelajaran sastra memang pembelajaran yang bermasalah sejak dahulu. Keluhan-keluhan para guru, siswa, dan sastrawan tentang rendahnya tingkat apresiasi sastra selama ini menjadi bukti konkret adanya sesuatu yang tak beres dalam pembelajaran sastra di lembaga pendidikan formal (Nestapa, 2005). Beberapa keluhan dalam pembelajaran sastra di, pengetahuan dan kemampuan dasar dalam bidang kesastraan para guru sangat terbatas (Alpansyah, 2005; Wahyudi, 2007). Materi kesastraan yang mereka peroleh selama mengikuti pendidikan formal di perguruan tinggi (PT) sangat terbatas.
Materi kuliah kesastraan yang mereka peroleh lebih bersifat teoretis, sedangkan yang mereka butuhkan di lapangan lebih bersifat praktis. Kedua, buku dan bacaan penunjang pembelajaran sastra di sekolah, khususnya SMU juga terbatas (Rosidi
1997:19-25). Minat belajar dan minat membaca para siswa masih sangat rendah. Faktor ketersediaan waktu, manajemen perpustakaan sekolah, dan dorongan dari guru menjadi ikut menjadi penyebab dalam hal ini.
Berbagai kendala di atas menyebabkan pembelajaran sastra di berbagai jenjang pendidikan formal hingga saat ini belum mencapai sasaran sebagaimana yang diharapkan. Tujuan akhir pembelajaran sastra, penumbuhan dan peningkatan apresiasi sastra pada subjek didik belum menggembirakan. Pembelajaran Sastra: Adanya Seperti Tiada Beranjak dari berbagai persoalan yang dikemukakan di atas, tampaknya ada beberapa hal yang penting untuk dicermati ulang dalam pembelajaran sastra di sekolah dengan menggunakan acuan kurikulum yang diberlakukan saat ini. Pertama, dalam Kurikulum 1994, misalnya, yang diberlakukan di SMU disebutkan bahwa pembelajaran sastra dalam berbagai aspeknya diarahkan pada penumbuhan apresiasi sastra para siswa sesuai dengan tingkat kematangan emosionalnya. Hal ini mengisyaratkan bahwa perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pembelajaran sastra idealnya diarahkan pada penumbuhan apresiasi pada siswa. Apresiasi sebagai sebuah istilah dalam bidang sastra dan seni pada umumnya sebenarnya lebih mengacu pada aktivitas memahami, menginterpretasi, menilai, dan pada akhirnya memproduksi sesuatu
yang sejenis dengan karya yang diapresiasikan. Karena itu, kegiatan apresiasi tidak hanya bersifat reseptif: menerima sesuatu secara pasif. Tetapi, yang lebih penting, apresiasi juga bersifat produktif: menghasilkan sesuatu secara aktif. Karena itu, pembelajaran sastra di lembaga pendidikan formal idealnya tidak hanya sebatas pada pemberian teks sastra dalam genre tertentu untuk dipahami dan diinterpretasikan oleh siswa (apresiasi reseptif).
             Pembelajaran sastra khususnya hikayat harus diarahkan pada penumbuhan kemampuan siswa dalam menilai atau mengkritik kelebihan dan kekurangan teks yang ada dan akhirnya, berdasarkan penilaian/kritik tersebut, siswa mampu membuat sebuah teks lain yang lebih bermutu, baik teks yang segenre ataupun tidak. Mungkin ada yang menganggap apa yang tersebut di atas terlalu ideal, hanya ada dalam angan, tetapi sukar ditemukan di alam nyata. Bagaimana mungkin guru, yang pengetahuan dan kemampuan dasar kesastraannya sangat terbatas diminta untuk mengajar siswa menghasilkan kritik teks dan bahkan menghasilkan karya sastra dalam berbagai genre.
         Tulisan ini ingin mengurai salah satu sisi dari berbagai macam keruwetan pembelajaran sastra di sekolah tersebut. Hikayat yang menjadi salah satu simpul keruwetan itu adalah materi mengenai sastra lama. Dalam bab dua akan
diurai beberapa permasalahan dalam pembelajaran sastra lama terutama hikayat.



                                                                            Bab II
Problematika Membaca
Hikayat di SMA Kelas Dua

Indonesia kaya dengan peninggalan tertulis dalam bentuk naskah. Hal ini amat berhubungan dengan tradisi tulis yang berkembang di banyak daerah karena masyarakat pendukungnya kebetulan memiliki aksara tersendiri. Kenyataan ini membuka peluang yang luas pada kita untuk memperkenalkan kearifan nenek moyang itu kepada para siswa agar mereka dapat memahami sekaligus mendapatkan manfaat dari naskah-naskah lama itu. Dengan memperkenalkan Adat Raja-raja Melayu misalnya, kita akan mendapat latar belakang serta tata cara berbagai upacara yang berhubungan dengan daur hidup raja-raja Melayu. Banyak di antara cerita itu kita jumpai dengan tema kepahlawanan, misalnya cerita-cerita yang bersumber pada dua cerita India Mahabharata dan Ramayana seperti hikayat Pandawa Lima dan Hikayat Sri Rama. Kita juga menemukan cerita-cerita pengaruh Islam seperti Hikayat Amir Hamzah dan Hikayat Muhammad Hanafiyyah; atau dengan tema percintaan, misalnya Cerita Panji yang muncul pada abad ke-14 di Jawa. Cerita yang pada awalnya ditulis dalam bahasa Jawa tengahan ini berkembang luas dan ikut memperkaya kesusastraan di berbagai daerah di Nusantara, seperti Bali dan Melayu dan beberapa negara di Asia Tenggara.
Dalam sastra Melayu lama satu versi cerita ini muncul dalam bentuk syair berjudul Syair Ken Tambuhan. Syair ini sendiri berkisah tentang percintaan dua anak raja yang penuh lika-liku sebelum pada akhirnya mencapai kebahagiaan seperti yang mereka cita-citakan. Bahkan beberapa di antara telah dikenal
luas oleh kita sekarang. Kita bersyukur peninggalan tertulis yang kaya itu masih ada sekarang dan dapat kita nikmati hingga hari ini. Hal ini bisa terjadi tentunya berkat perawatan yang baik oleh lembaga-lembaga yang memiliki perhatian kepada naskah. Namun demikian, sejauh manakah kita memberi pengetahuan dan memperkenalkan naskah-naskah (kesastraan) itu kepada para pelajar? Tampaknya ada beberapa kendala dalam memperkenalkan cerita-cerita lama kepada peserta didik di tingkat SMU. Pertama, cerita dalam naskah-naskah itu
ditulis dalam aksara Jawi atau aksara daerah lainnya. Dalam kenyatannya, sangat sedikit siswa yang memahami aksara-aksara tersebut meskipun yang bersangkutan berasal dari daerah tempat aksara itu dikembangkan. Kedua, bahasa dalam cerita-cerita lama adalah bahasa kuno sehingga tidak menarik pembaca (Ikram, 1997). Ketiga, langkanya buku- buku terbitan yang mereproduksi naskah-naskah tadi untuk dijadikan bahan bacaan.
Bacaan yang terbit dan sampai pada kita tampaknya terlalu berat bagi siswa-siwi karena biasanya buku-buku itu berasal dari telaah ilmiah seperti tesis dan disertasi. Memang kita tidak dapat menutup mata terhadap usaha Pusat Bahasa untuk menerbitkan transliterasi cerita-cerita lama dalam proyek penerbitan buku lembaga ini, namun hal itu dirasakan
belum cukup karena faktor distribusi yang tidak merata serta kemasannya yang sangat tidak menarik. Apabila kedua hal ini diatasi, terbuka kemungkinan guru atau sekolah untuk mendapatkan buku-buku tersebut secara lebih mudah untuk disajikan kepada siswa baik di dalam kelas maupun sebagai bahan bacaan penunjang. Keempat, kurikulum tidak memberikan peluang yang memadai bagi diajarkannya sastra lama kepada siswa. Kalaupun ada, hal itu harus diintegrasikan dengan pengajaran sastra modern. Barangkali ada sebagian siswa kita yang tertarik secara khusus pada bidang bahasa dan sastra, namun jumlah mereka sedikit sehingga banyak sekolah yang tidak tidak membuka jurusan ini.
Kelima, pengajaran bahasa dan sastra di sekolah-sekolah kita agaknya semakin mengarah pada usaha untuk menunjang kemampuan siswa untuk dapat lolos dan lulus SPMB. Dengan demikian, fungsi sastra sebagai alat untuk memperhalus akal budi manusia menjadi terpinggirkan.


                                                                Bab III
Solusi Membaca
Hikayat di SMA Kelas Dua

Penelitian ini berlatar belakang pada kenyataan bahwa pembelajaran membaca hikayat siswa kelas XI di SMA belum optimal. Untuk meningkatkan motivasi dan prestasi siswa, peneliti menggunakan model pembelajan kooperatif dengan teknik mengubah bacaan ke dalam gambar. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah (1) apakah kemampuan membaca hikayat siswa dapat ditingkatkan melalui model pembelajaran kooperatif dengan teknik mengubah bacaan ke dalam gambar? (2) bagaimana perubahan perilaku siswa setelah mengikuti pembelajaran ini ? Penelitian ini bertujuan untuk (1) mendeskripsikan peningkatan kemampuan membaca novel dan hikayat siswa, (2) mendeskripsikan perubahan perilaku siswa setelah mengikuti pembelajan kooperatif dengan teknik mengubah bacaan ke dalam gambar. Penelitian ini menggunakan dua tahap , yaitu siklus I dan siklus II. Tiap siklus terdiri atas tahapan perencanaan, tindakan, observasi, dan refleksi. Hasil penelitian ini adalah peningkatan siklus I sebesar 69,57 menjadi 77,93 pada siklus II. Siswa yang telah mencapai nilai di atas rata-rata pada siklus I sebanyak 57,14% atau 20 siswa. Pada siklus II menjadi 88,57% atau 31 siswa. Hal tersebut menggambarkan adanya kenaikan kemampuan siswa sebesar 31,43%. Hasil analisis data nontes menunjukkan adanya perubahan perilaku siswa dari negatif berubah menjadi positif.Siswa tampak senang mengikuti pembelajaran ini.
Tidak hanya itu saja solusi yang mampu guru lakukan dalam pembelajaran membaca hikayat ini adalah, dengan guru sedikit-sedikit memberikan acuan kepada siswa. Semisal, pada saat siswa kurang mampu memahami arti kata yang terkandung dalam suatu hikayat, guru selayaknya memberi tahu murid. Dan juga sebelum menginjak kepada materi membaca hikayat ini, guru bisa memberi pengantar materi mengenai hikayat. Dengan tujuan mengenalkan siswa kepada hikayat.
Ketika semua sudah berjalan lancar, pihak sekolah seharusnya bekerjasama dengan pemerintah untuk pengadaan buku-buku sastra lama ke dalam perpustakaan sekolah. Dengan begini secara tidak langsung, murid kita ajak membaca dan membiasakan untuk mengenal karya sastra lama terutama hikayat yang semakin hari dilupkan.
Tidak hanya itu, sebagai guru kita harus mengemas pembelajaran membaca hikayat ini dengan hal baru. Sebuah pembelajaran baru yang mampu menarik siswa untuk ikut membaca hikayat ini. Semisal, guru membacakan sebuah hikayat, kemudian guru menjelaskan kepada siswa ap makna yang terkandung didalamnya, serta memberikan manfaat yang diperoleh ketika membaca hikayat, lalu kita buat permainan kecil yang menarik dan yang kalah harus membaca serta mengartikan makna hikayat tersebut. Dengan begitu siswa akan terbiasa membaca dan belajar mengenai pemahaman membaca hikayat dan mencintai karya sastra lama serta mengapresiasikannya dalam kehidupan sehari-hari.


                                                      Fakultas Ilmu Budaya
Pend. Bahasa dan Sastra Indonesia
Universitas Brawijaya
Desember 2011



1 komentar:

Komen mu adalah penilaian untuk ku...