Senin, 21 Mei 2012

Cerita dalam Hujan


Pemberian Hujan dari Tuhan
Oleh: Rizal Ariffin

                     “saat mentari ini terbenam di temani dengan kicauan burung-burung kematian...Di saat itulah angan dan asaku berhenti dalam sekejap...   Merenungi setiap kesalahan dalam hidupku di temani tangisan langit senja...”
Mentari boleh saja terbit dari ufuk timur bumi ini dan itu sama di belahan bumi yang lain. Mentari juga boleh terbenam dari ufuk barat itupun sama di belahan bumi yang lain. Semua berjalan dan berlari, muncul dan terbenam, bangkit dan tertidur, serta hidup dan mati sesuka hatinya tanpa manusia bisa mengatur. Akankah sama kehidupan manusia dengan mereka semua yang seenaknya itu? Tentu Tidak. Di atas langit masih ada langit, di atas bumi masih ada bumi, dan diatas yang baik masih ada yang terbaik, bahkan di atas siswa ada mahasiswa. Namun, Ialah yang disebut sebagai Tuhan Maha dari seluruh dzat yang ada baik di bumi dan di langit.
            “Hai Tuhan!” sapaan biasa tapi selalu saja tidak pernah terjawab.
            Burung-burung hitam muncul dari tempat peraduan. Satu persatu mereka mewarnai langit-langit merah senja yang sedikit demi sedikit mulai menghitam. Angin kencang berdebu datang tapi tidak menggoyahkan sekawanan burung yang terbang di langit kala itu. Pemandangan kala itu sungguh mengagumkan seakan-akan mereka bertambah senang dan mereka membuat lingkaran besar.
            “Cit...cit..cit..cit..cit...!!!” suara-suara aneh yang sangat mengerikan.
            Begitu banyak memecah keheningan dalam kesunyian waktu.  Selang beberapa menit dalam senja yang bising dengan nyanyian penuh makna terdengar suara keras seperti hendak menelan manusia. Diiringi dengan sambaran cahaya bak aliran listrik konslet di rumahku. Seolah-olah terusik dan merasa kurang senang akan kehadiran burung-burung hitam yang bernyanyi membuat gaduh. Lima menit sudah ia terus berteriak dan marah-marah namu tak kunjung usai dan berhenti.
            “Der...jeder...jeder...jeder...!!!” ia terus marah pada burung-burung itu.
            “Sudah hentikan... kalian semua diamlah...!!!” teriakku sambil menutup cendela kamar yang terbuka karena tiupan alam yang seakan-akan ikut marah.
            Tidak lama kemudian benar saja listrik di rumah padam bahkan tidak hanya di rumahku saja seluruh desa kala itu padam semua. Langit senja yang indah berubah menjadi langit gelap yang menakutkan. Semua seakan terjadi hanya karena gerombolan burung hitam yang berpesta dan menari-nari di atas langit yang indah itu. Inilah kemarahan alam yang sungguh menakjubkan. Namun, burung-burung itu masih tetap kukuh untuk tetap bernyanyi dan menari di atas awan gelap.
            “Sudah semua berhenti...!!!” sekali lagi teriakku dalam kamar yang sepi tanpa seorangpun dalam rumah.
            Sepenggal kata yang tidak menghentikan semua ini. Aku berlari keluar rumah, berlari, dan terus berlari untuk menghindari suara-suara ini. Namun, teriakanku tidak mampu menenangkan suara ricuh yang membuat hatiku menjadi semakin gundah. Aku berhenti dan menangis serta berteriak sekuat yang aku bisa di tengah ladang tandus nan sepi ini. Seperti mengiringi teriakanku angin berlari begitu cepat dan kencang seakan-akan membawa pesanku untuk langit.
            Aku mulai terlelah dan aku jatuh menopang pada batang besar pohon yang roboh. Meratapi semua yang terjadi dalam hidupku. Tanah kering kerontang yang seakan merintih kepanasan. Burung-burung yang menjerit meminta pohon untuk berteduh. Bahkan katak-katak yang bernyanyi seperti sedang mengadakan konser paduan suara ini juga menambah ricuh suasana kala itu. Semua seakan menginginkan dan mengharapkan belas kasihan dari Sang Maha Pencipta.
            Seketika itu aku pun menitihkan air mata, menerobos, dan menguak ingatan ku dalam memori otakku akan kisahku waktu dulu ketika kami masih bersama. Bersama dalam suka dan duka dalam kasih dan cinta. Satu keluarga utuh yang saling mengasihi dan melindungi. Selalu bersama dan berbagi tidak pernah membedakan. Semuanya telah hancur dengan seiringnya waktu yang yang penuh misteri.
            Hilang dalam angan yang selalu terpendam di hatiku terdalam. Tanpa bisa ku cari dan ku buka kembali. Hanya dapat ku kenang dan ku jadikan pelajaran dalam hidup. Bahwa kebahagian yang asesungguhnya adalah dimana kita mengetahui dan mampu mengalahkan kesusahan dalam hidup. Semuanya memang harus terjadi, berlangsung, dan harus di jalani. Tanpa itu semua hidup akan terasa sama saja tanpa ada perubahan dan pengertian yang bauk dan benar.
            “Tuhan kenapa kau tarik semua kebahagianku, kesenanganku, dan keceriaanku? Apakah Kau sudah tidak sayang lagi padaku? Kadang aku merasa kecil di mata orang lain, namun aku yakin mereka semua tidak ada apa-apanya dengan diri-Mu Ya Rabb...!” kataku sambil menitihkan air mata kembali.
            “Tuhan bolehkah aku bertemu dengan ibuku? Aku ingin berbagi kesedihan dalam keramaian yang begitu sunyi ini! Apakah di sana ibuku baik-baik saja?”
            “Tuhan andai ku dapat mengulang waktuku, bolehkah aku meminta dia kembali? Menemani hari-hariku agar tidak terasa begitu sepi?” kata-kata itu seperti kata-kata terakhir ku yang bisa aku ucapkan di tanah kering bebatuan yang disaksikan alam beserta isinya.
            Seakan alam mengerti keinginanku, mengerti perasaanku, mengerti keraguanku, mengerti kesedihanku, dan mengerti segala isi hatiku ia ikut menangis. Menjatuhkan air mata ke tanah kering yang menjadi basah oleh air mata langit. Kepada katak-katak yang memberikannya minum. Kepada burung-burung yang kelak akan mendapatkan tempat tinggal yang nyaman. Tangisan langit ini begitu membawa berkah dan syukur tersendiri bagi mereka yang benar-benar membutuhkan pemberian hujan ini.
            Tuhan memang adil, Engkau Maha adil dan Maha penyanyang. Setiap kali ada kesedihan, Engkau juga berikan tangisan bahagia dalam tetesan hujan. Namun, tidak bagiku! Aku merasa sama, aku merasa sedih, dan aku merasa sendiri. Apakah Tuhan tidak adil kepadaku? Atau apakah memang karena aku sudah sangat begitu kejam kepada mereka yang menyanyangi ku? Seketika itu caha putih seakan mendekat padaku.
            Cahaya putih yang begitu cepat datang padaku tanpa permisi. Begitu sakit ku rasa. Panas, sesak, dan aku merasa sakit luar biasa. Badanku bagaikan disayat-sayat. Kulitku terasa terangkat dan mengelupas. Mataku terpejam tidak mampu melihat apapun. Badanku pun kaku menggelincang bagaikan cacing kepanasan. Sudah pasrah akan apa yang terjadi dalam hidupku.dalam doa ku sebut nama ibuku.
            “Anakku!, kemarilah sayang ikutlah engkau dengan ibumu.”
            “Kau siapa? Ibuku sedang tidur dalam dekapan Sang Illahi!”
            “Aku ibumu nak, tidakkah kau merindukanku? Mengapa kini kau melupakanku? Mengapa kau tidak mendoakanku dalam malam mu? Kemana jiwamu yang dulu nak?”
            “Aku selalu menjadi aku yang dulu, ku pikir ibu ku sudah tenang di sana!”
            “baiklah kalau kau tetap begitu jangan lagi kau memanggilku dengan sebutan ibu!”
            “Kau ini siapa memangnya?”
            “Selamat tinggal, berubahlah kau agar kau mengetahui siapa aku nak?”
            “Hai... tunggu siapa kamu?” seakan berlari mengejar wanita dengan gaun putih bersinar dengan tergopoh-gopoh namun wanita itu tidak terkejar lagi.
            Begitu aku terbangun dari mimpi ku yang terasa singkat badan ku seakan tidak bisa di gerakkan. Semua terasa gelap tidak bercahaya. “Apakah kini aku berada dalam neraka?” dalam hati aku bertanya demikian.
“Tidak...!!!” jawab seseorang yang tidak terlihat. “Kau kini berada di rumah sakit, saat hujan turun kau tersambar petir dan kau sudah koma selama tiga bulan!”
“Apa... Ibuuu!!!” teriakku dengan kencang.
Apakah ini jawaban dari Tuhan atas segala doa ku yang dikirimkan lewat hujan kala itu?
dan mungkinkah ini adalah salah satu pemberian Tuhan pada ku akan kesempatan untuk bertaubat?****




SEKIAN
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komen mu adalah penilaian untuk ku...