Pemberian
Hujan dari Tuhan
Oleh: Rizal Ariffin
“saat
mentari ini terbenam di temani dengan kicauan burung-burung kematian...Di
saat itulah angan dan asaku berhenti dalam sekejap... Merenungi
setiap kesalahan dalam hidupku di temani tangisan langit senja...”
Mentari boleh saja
terbit dari ufuk timur bumi ini dan itu sama di belahan bumi yang lain. Mentari
juga boleh terbenam dari ufuk barat itupun sama di belahan bumi yang lain.
Semua berjalan dan berlari, muncul dan terbenam, bangkit dan tertidur, serta
hidup dan mati sesuka hatinya tanpa manusia bisa mengatur. Akankah sama
kehidupan manusia dengan mereka semua yang seenaknya itu? Tentu Tidak. Di atas
langit masih ada langit, di atas bumi masih ada bumi, dan diatas yang baik
masih ada yang terbaik, bahkan di atas siswa ada mahasiswa. Namun, Ialah yang
disebut sebagai Tuhan Maha dari seluruh dzat yang ada baik di bumi dan di
langit.
“Hai
Tuhan!” sapaan biasa tapi selalu saja tidak pernah terjawab.
Burung-burung
hitam muncul dari tempat peraduan. Satu persatu mereka mewarnai langit-langit
merah senja yang sedikit demi sedikit mulai menghitam. Angin kencang berdebu
datang tapi tidak menggoyahkan sekawanan burung yang terbang di langit kala
itu. Pemandangan kala itu sungguh mengagumkan seakan-akan mereka bertambah
senang dan mereka membuat lingkaran besar.
“Cit...cit..cit..cit..cit...!!!”
suara-suara aneh yang sangat mengerikan.
Begitu
banyak memecah keheningan dalam kesunyian waktu. Selang beberapa menit dalam senja yang bising
dengan nyanyian penuh makna terdengar suara keras seperti hendak menelan
manusia. Diiringi dengan sambaran cahaya bak aliran listrik konslet di rumahku.
Seolah-olah terusik dan merasa kurang senang akan kehadiran burung-burung hitam
yang bernyanyi membuat gaduh. Lima menit sudah ia terus berteriak dan
marah-marah namu tak kunjung usai dan berhenti.
“Der...jeder...jeder...jeder...!!!”
ia terus marah pada burung-burung itu.
“Sudah
hentikan... kalian semua diamlah...!!!” teriakku sambil menutup cendela kamar
yang terbuka karena tiupan alam yang seakan-akan ikut marah.
Tidak
lama kemudian benar saja listrik di rumah padam bahkan tidak hanya di rumahku
saja seluruh desa kala itu padam semua. Langit senja yang indah berubah menjadi
langit gelap yang menakutkan. Semua seakan terjadi hanya karena gerombolan
burung hitam yang berpesta dan menari-nari di atas langit yang indah itu.
Inilah kemarahan alam yang sungguh menakjubkan. Namun, burung-burung itu masih
tetap kukuh untuk tetap bernyanyi dan menari di atas awan gelap.
“Sudah
semua berhenti...!!!” sekali lagi teriakku dalam kamar yang sepi tanpa
seorangpun dalam rumah.
Sepenggal
kata yang tidak menghentikan semua ini. Aku berlari keluar rumah, berlari, dan
terus berlari untuk menghindari suara-suara ini. Namun, teriakanku tidak mampu
menenangkan suara ricuh yang membuat hatiku menjadi semakin gundah. Aku
berhenti dan menangis serta berteriak sekuat yang aku bisa di tengah ladang
tandus nan sepi ini. Seperti mengiringi teriakanku angin berlari begitu cepat
dan kencang seakan-akan membawa pesanku untuk langit.
Aku
mulai terlelah dan aku jatuh menopang pada batang besar pohon yang roboh.
Meratapi semua yang terjadi dalam hidupku. Tanah kering kerontang yang seakan
merintih kepanasan. Burung-burung yang menjerit meminta pohon untuk berteduh.
Bahkan katak-katak yang bernyanyi seperti sedang mengadakan konser paduan suara
ini juga menambah ricuh suasana kala itu. Semua seakan menginginkan dan
mengharapkan belas kasihan dari Sang Maha Pencipta.
Seketika
itu aku pun menitihkan air mata, menerobos, dan menguak ingatan ku dalam memori
otakku akan kisahku waktu dulu ketika kami masih bersama. Bersama dalam suka
dan duka dalam kasih dan cinta. Satu keluarga utuh yang saling mengasihi dan
melindungi. Selalu bersama dan berbagi tidak pernah membedakan. Semuanya telah
hancur dengan seiringnya waktu yang yang penuh misteri.
Hilang
dalam angan yang selalu terpendam di hatiku terdalam. Tanpa bisa ku cari dan ku
buka kembali. Hanya dapat ku kenang dan ku jadikan pelajaran dalam hidup. Bahwa
kebahagian yang asesungguhnya adalah dimana kita mengetahui dan mampu
mengalahkan kesusahan dalam hidup. Semuanya memang harus terjadi, berlangsung,
dan harus di jalani. Tanpa itu semua hidup akan terasa sama saja tanpa ada
perubahan dan pengertian yang bauk dan benar.
“Tuhan
kenapa kau tarik semua kebahagianku, kesenanganku, dan keceriaanku? Apakah Kau
sudah tidak sayang lagi padaku? Kadang aku merasa kecil di mata orang lain,
namun aku yakin mereka semua tidak ada apa-apanya dengan diri-Mu Ya Rabb...!”
kataku sambil menitihkan air mata kembali.
“Tuhan
bolehkah aku bertemu dengan ibuku? Aku ingin berbagi kesedihan dalam keramaian
yang begitu sunyi ini! Apakah di sana ibuku baik-baik saja?”
“Tuhan
andai ku dapat mengulang waktuku, bolehkah aku meminta dia kembali? Menemani
hari-hariku agar tidak terasa begitu sepi?” kata-kata itu seperti kata-kata
terakhir ku yang bisa aku ucapkan di tanah kering bebatuan yang disaksikan alam
beserta isinya.
Seakan
alam mengerti keinginanku, mengerti perasaanku, mengerti keraguanku, mengerti
kesedihanku, dan mengerti segala isi hatiku ia ikut menangis. Menjatuhkan air
mata ke tanah kering yang menjadi basah oleh air mata langit. Kepada
katak-katak yang memberikannya minum. Kepada burung-burung yang kelak akan
mendapatkan tempat tinggal yang nyaman. Tangisan langit ini begitu membawa
berkah dan syukur tersendiri bagi mereka yang benar-benar membutuhkan pemberian
hujan ini.
Tuhan
memang adil, Engkau Maha adil dan Maha penyanyang. Setiap kali ada kesedihan,
Engkau juga berikan tangisan bahagia dalam tetesan hujan. Namun, tidak bagiku!
Aku merasa sama, aku merasa sedih, dan aku merasa sendiri. Apakah Tuhan tidak
adil kepadaku? Atau apakah memang karena aku sudah sangat begitu kejam kepada
mereka yang menyanyangi ku? Seketika itu caha putih seakan mendekat padaku.
Cahaya
putih yang begitu cepat datang padaku tanpa permisi. Begitu sakit ku rasa.
Panas, sesak, dan aku merasa sakit luar biasa. Badanku bagaikan disayat-sayat.
Kulitku terasa terangkat dan mengelupas. Mataku terpejam tidak mampu melihat
apapun. Badanku pun kaku menggelincang bagaikan cacing kepanasan. Sudah pasrah
akan apa yang terjadi dalam hidupku.dalam doa ku sebut nama ibuku.
“Anakku!,
kemarilah sayang ikutlah engkau dengan ibumu.”
“Kau
siapa? Ibuku sedang tidur dalam dekapan Sang Illahi!”
“Aku ibumu
nak, tidakkah kau merindukanku? Mengapa kini kau melupakanku? Mengapa kau tidak
mendoakanku dalam malam mu? Kemana jiwamu yang dulu nak?”
“Aku
selalu menjadi aku yang dulu, ku pikir ibu ku sudah tenang di sana!”
“baiklah
kalau kau tetap begitu jangan lagi kau memanggilku dengan sebutan ibu!”
“Kau ini
siapa memangnya?”
“Selamat
tinggal, berubahlah kau agar kau mengetahui siapa aku nak?”
“Hai...
tunggu siapa kamu?” seakan berlari mengejar wanita dengan gaun putih bersinar
dengan tergopoh-gopoh namun wanita itu tidak terkejar lagi.
Begitu
aku terbangun dari mimpi ku yang terasa singkat badan ku seakan tidak bisa di
gerakkan. Semua terasa gelap tidak bercahaya. “Apakah kini aku berada dalam
neraka?” dalam hati aku bertanya demikian.
“Tidak...!!!” jawab
seseorang yang tidak terlihat. “Kau kini berada di rumah sakit, saat hujan
turun kau tersambar petir dan kau sudah koma selama tiga bulan!”
“Apa... Ibuuu!!!”
teriakku dengan kencang.
Apakah ini jawaban
dari Tuhan atas segala doa ku yang dikirimkan lewat hujan kala itu?
dan mungkinkah ini adalah salah satu pemberian Tuhan pada ku akan kesempatan untuk bertaubat?****
dan mungkinkah ini adalah salah satu pemberian Tuhan pada ku akan kesempatan untuk bertaubat?****
SEKIAN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komen mu adalah penilaian untuk ku...